MENUNGGU
Berkumpul terhadap teman-teman lama seakan mengingatkan kami pada
masa lalu. Mereka adalah teman-teman masa SMAku. Aku masih teringat pada saat
aku masih memakai baju abu-abu. Kedekatan kami bersama teman-teman begitu
akrab, namun aku sendiri mungkin yang menjadi kaku menjalani kehidupan masa
sma. Aku seakan terkungkung oleh keyakinan-keyakinan sudah terpatri dalam
akalku. Tapi, meski aku meyakini pada aturan agama bukan beraarti aku menjauhi
teman-teman aku. Kami senantiasa ikut dalam undangan kumpul bareng ama teman
dan main ke rumah guru-guru di sma.
Seiring berjalannya mentari keakraban itu semakin tak kuat untuk merekatkan hubungan
persahabatan itu. Kami telah melanjutkan
masing-masing kuliah dengan kampus yang berbeda. Namun kami masih saling sapa
meskipun sangat jarang ada komunikasi karena mereka telah menjalani hidup
mereka dengan kesibukan-kesibukan yang mereka persepsikan akan menjamin
kesuksen masa depan.
Waktunya reunian kembali ketika kami ada salah seorang yang akan
ada acaraa wisuda. Sang wisudawati telah
menghubungiku. “Assalamualaikum” kata hajrah.
“walaikumussalam, dengan siapa” balasku.
“aku hajrah, bisa ngak datang di acara syukuranku?” balasnya lagi.
“ Insya Allah, kapan”? jawabku.
“bisa kamu datang selasa malam ama teman-teman yang lain” tanya
dia.
“bisa” pintakku.
Begitulah sedikit percakapan undangan yang akan kami kunjungi.
Ketika masanyaa, aku menelopon setiap teman yang akan pergi ke acara itu.
Sehingga kami pun membuat janji akan bertemu di depan kampus Biru pada jam
setengah tujuh. Akulah yang datang yang paling awal, sambil menunggu teman yang
lain dalam hitungan waktu tak menentu.
Aku duduk diatas sadel motor sambi melihat mobil dan motor lewat
dalam kesibukan mereka. Tak lama kemudian salah seorang temanku muncul dari
celah-celah bayangan cahaya bola-bola lampu kendaraan yang serba sibuk dengan
gaya metropolitan. Aku bercerita dan saling berbagi pengalaman tentang kegiatan
mengajar selama raktek lapangan.
Tak lama kemudian sekitar waktu tempuh perjalanan antar ujung pettarani dengaan ujung pettarani yang satu
durasi dalam menunggu, datanglah salah
seorang teman yang aku anggap teman yang begitu dekat dari kerumunan kendaraan
kota. Dengan gagah berani membuka helmnya yang putih dengan kendaraan motor
besar menjadikan posisinya sportif dan sempurna diatas kendaraan yang besar.
Dia menyalamiku dan memukul pundak kecilku bila dibandingkan
dengannya yang besar dan berisi. Kami pun saling sapa dan asyik bercerita
dalamm kebosanan mendengarkan deru mesin-mesin kota. Bercanda dan pongah di
pinggiran jalan besar diatas trotoar-trotoar merah dan tak rata. Bercerita
tentang pengalaman mengajar dan organisasi sambil menunggu sesorang yang tak
pasti kedatangan mereka. Asyik bercerita handphone berbunyi sebagai tanda
panggilan dan sms, dan terkadang mereka sibuk sendiri dengan teknologi yang
mereka miliki.
Benarlah perkataan orang dulu bahwa duduk dipinggir jalann maka hak mereka adalah memberikan
salam kepada yang telah lewat dipinggiran jalan. Tak terasa candaan kami berjalan
tanpa memikirkan yang lain teman-teman
satu sekolah aku banyak yang lewat di jalan tersebut karena mereka telah
mengikuti aturan kampus yang bisa membahayakan mereka sendiri. Ada juga yang
telah menghabiskan kiriman orang tua di tempat pertemuan orang berbagai macam jenis suku ras, suku, bahasa ,
dan agama.
Salah seorang teman satu angkatan kami singgah ditemani teman perempuan yang mungkin
juga adalah pacar atau mungkin juga teman tapi mesra. Singgah untuk menyapa
adalah hal yang memang harus dilakukan ketika melihat teman lama dipinggiran
jalan. Kamipun bercerita tentang perempuan sambil mencandai mereka tapi dia(
mustafa) mereka tak mengaku untuk mengataakan bahwa dia adalah pacarnya. Tapi
ya sudahlah aku memang tahu bahwa seorang pencuri tak akan mengaku didepan
pengadilan ketika tertangkap basah. Karena kebosanan telah nampak dari wajah
mereka berdua( mustafa dan teman perempuan) maka merekapun pamit untuk alasan
sebagai mahasiswa.
Kami bertiga(aku, Nur, ahmad) masih menunggu dipinggiran jalan itu.
Menunggu sesorang yang juga menunggu
seseorang yang akan mengantar mereka kepada kami. Namun, salah satu dari kami
tak sabar untuk menunggu selam beberapa jam. Makaa salah seorang dari kami
harus menjemput temanku yang satu tersebut sambil berpesan untuk membeli
sesuatu untuk membasahai tenggorokan yang sudah lama menuggu.
Muncul dari pinggiran tembok
yang remang-remang dibalik bayangan pohon dari pencahayaan lampu jalan. Sang pembuat
menunggu(nita) tersenyum lebar seakan tak berbuat salah dan kesal. Tapi masih
ada yang ingin ditunggu si saudara kembar ana dan ani. Bercanda sebagai teman
lama mencereritakan masa lalu memang tak
ada bosannya untuk sering diulangi. Kami menunggu sambil menikmati ramainya
kesibukan kota metrpolitan ditemani dengan segelas air dengan kuaci membuat
pembicaraan semakin santai. Tapi tak lama kemudian sebuah motor datang dengan
menyinari muka kami dengan silau. Maka akhir untuk menunggu telah usai dan kami
pun berangkat dengan pelan menyusuri jalannya kemacetan, jalan sempit, berlubang,
berkelok, bebatuan menjadi teman kami dalam perjalanan untuk melanjutkan ke
tempat syukuran.
Dari kejauhan tampak sesorang perempuan dengan rambut terurai
dengan pakaian gaya orang kota berwarna biru seakan sibuk menunggu dengan
ambisius dan berpikir besar. Dia melambaikan tangan sebagi tanda bahwa akhir dari perjalanan. Namun, ketika
telah sampai di tempat tujuan teman-teman
tak ada yang mau memulai untuk masuk ke
dalam rumah. Menunggu kembali untuk memulai adalah sesuatu yang membuat
sang tuan rumah kadang jengkel. Maka dia(haje) mendesak, maka salah seorang
memulai.
Acara makan baru dimulai.
Sambil menikmati makanan yang terhidangkan. Seperti biasa kami bercanda dan
pongah dan terkadang membuat orang
sedikit tersinggung. Aku makan dan sedikit menguping pembicaraan mereka.
Tamu-tamu berdatangan dan mereka adalah teman satu kelas ku dulu.
Tapi aku juga merasa sungkan terhadap sesorang untuk menyapa. Aku tidak tau
mengapa hal itu terjadi. Sampai kami kembali aku hanya seperti orang lain, teralienasi,
dan tak pernah mengeluarkan satu hurufpun meluncur dari mulutku untuknya. Dia
hanya menatap sambil bersandar di pinggiran pagar dan menggerakan tangannya
sebagai tanda perpisahan. Tapi dia sedikit malu, akupun sungkan untuk
menyapanya. Aku tidak tahu mengapa hal itu terjadi atau mungkin karena sejarah
yang mengingatkan dia tentang masa lalu. Yah.. itulah mungkin karena masalah
waktu, sehingga terlupakan dan yang tersisa hanyalah efek-efek percikan
perasaan masa lalu. Seiring hal itu kami pamit dan dari kejauhan pandanganpun
kabur dan menikmati perjalanan pulang dengan angin malam yang dingin disertai
dengan deru suara kendaraan, debu, dan polusi.
Mangasa, Wednesday October 24 2012
0 Response to "MENUNGGU"
Posting Komentar