My Love is Real
Aku menunggu. Ya. Aku menunggu di pekarangan belakang sekolahku, tidak jauh dari musholla tempat aku shalat. Di sini, aku akan menemuinya. Dengan seragam sekolah yang rapi namun rambutku yang masih berantakan, tak mengurungkan niatku.
Karena hari ini perpisahan kelas XII, jadi aku memakai seragam putih abu-abu. Acaranya yang begitu merah dan menghanyutkan perasaan kami semua. Begitu menyedihkan memang. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Namun begitu, acaranya berlangsung full energy. Teriakan, sorakan, nyanyian para siswa menggelegar di udara. Puas rasanya ketika itu. Segala keluh kesah dan canda tawa kami ini takkan di temukan lagi di perguruan tinggi.
Ya. Setelah acara ini berakhir, maka waktu kami pun ikut berakhir. Kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang begitu kental, kami bina mulai dari nol. Berat. Dadaku sesak. Bila harus mengingat kenangan indah bersama mereka. Teman–temanku yang tercinta. Tapi, kami semua berharap agar perasaan kami tidak akan luntur oleh jarak dan waktu yang memisahkan.
Karena hari ini perpisahan kelas XII, jadi aku memakai seragam putih abu-abu. Acaranya yang begitu merah dan menghanyutkan perasaan kami semua. Begitu menyedihkan memang. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Namun begitu, acaranya berlangsung full energy. Teriakan, sorakan, nyanyian para siswa menggelegar di udara. Puas rasanya ketika itu. Segala keluh kesah dan canda tawa kami ini takkan di temukan lagi di perguruan tinggi.
Ya. Setelah acara ini berakhir, maka waktu kami pun ikut berakhir. Kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang begitu kental, kami bina mulai dari nol. Berat. Dadaku sesak. Bila harus mengingat kenangan indah bersama mereka. Teman–temanku yang tercinta. Tapi, kami semua berharap agar perasaan kami tidak akan luntur oleh jarak dan waktu yang memisahkan.
Memang betul kata orang “Masa yang paling indah adalah masa ketika SMA, karena di masa itulah kita akan mulai mengenal lebih dalam diri kita dan orang lain. Dan kita juga bisa mengenal masa masa jatuh hati pada lawan jenis dengan lebih serius. Dan di masa ini juga, karakter kita akan di bentuk dan di poles” Kata kata itu baru bisa kupahami di saat ini, di moment terakhirku bersama mereka.
“Assalamualaikum?”
“W.. Wa—wa’alaikumsalam!” Aku terkejut. Dan dengan agak terbata-bata aku menjawab salam darinya.
Dia sudah berada di depanku. Astagfirullahal’adzim. Ternyata aku tadi melamun, memikirkan tentang perpisahan. Namun, dia tampak memakluminya. Wajahnya yang berseri. Kulitnya yang agak putih dan pakaiannya yang tampak serasi. Ia memakai rok putih dan memakai baju lengan panjang dan jilbabnya yang tebal yang menutup aurat tampak begitu anggun. Ia hampir menyempurnakan hijabnya. Walaupun begitu, amat jarang ditemukan gadis yang usianya tujuh belas tahun, mau menutup auratnya. Biasanya kebanyakan dari mereka hanya sekedarnya saja. Ya. Ini cukup memprihatinkan bagi kaum muslimah di daerah ini. Karena atas dasar inilah, rohis di sekolah kami di bentuk.
“W.. Wa—wa’alaikumsalam!” Aku terkejut. Dan dengan agak terbata-bata aku menjawab salam darinya.
Dia sudah berada di depanku. Astagfirullahal’adzim. Ternyata aku tadi melamun, memikirkan tentang perpisahan. Namun, dia tampak memakluminya. Wajahnya yang berseri. Kulitnya yang agak putih dan pakaiannya yang tampak serasi. Ia memakai rok putih dan memakai baju lengan panjang dan jilbabnya yang tebal yang menutup aurat tampak begitu anggun. Ia hampir menyempurnakan hijabnya. Walaupun begitu, amat jarang ditemukan gadis yang usianya tujuh belas tahun, mau menutup auratnya. Biasanya kebanyakan dari mereka hanya sekedarnya saja. Ya. Ini cukup memprihatinkan bagi kaum muslimah di daerah ini. Karena atas dasar inilah, rohis di sekolah kami di bentuk.
Dengan dukungan dari kepala sekolah dan Ormas Islam, rohis (rohani islam) kami berjalan. Rohis juga sebagai sarana perbaikandan refleksi diri bagi remaja islam. Apakah ia sudah benar? Apakah yang ia lakukan sudah sesuai syariat?. pertanyaan seperti ini akan di jawab dan di bahas secara baik di Rohis.
Aku juga ikut rohis. Walau awalnya cuma ikut ikutan doang. Sekarang sudah menjadi lebih serius. Serius untuk hidup sesuai syariat islam. Islam itu indah. Islam itu tegas. Islam itu lembut. Islam itu mudah. Kata-kataku tak mampu mengungkapkan betapa indahnya hidup bila begitu dekat dengan agama kita.
“Kak… Ada perlu apa ya, Kak?” Tanyanya padaku dengan sikapnya yang polos.
Walau sedikit lasak, cerewet, terkadang perkataannya sering memerahkan telinga, namun hatinya begitu lembut. Ya. Pertanyaannya itu mulai membuatku gugup. Bingung. Tidak tahu harus di mulai dari mana. Aku malu karena kurang konsisten.
Di kejauhan aku melihat temanku, Ayub, mengacungkan telunjuknya. Walau hanya terlihat bagian tangannya saja, aku sudah tahu bahwa itu dia. Itu Kode nya! Hati dan pikiranku mulai terbuka. Itu karena Ayub menyuruhku untuk terus terang kepada gadis ini. Tak lama, sosok tangan itu menghilang ke balik tembok. Terima kasih, Yub. Sampai saat ini kau masihm emberikanku support. Kau memang salah satu sahabatku. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Hatiku sudah mulai sedikit tenang. Lebih rileks.
Aku sudah siapuntuk mengatakannya. Lalu kujawab pertanyaan gadis itu.
“Ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu?”
“Hmm.. Apa itu, Kak?” Tanyanya balik padaku.
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya apa, Kak?” Lagi ia bertanya.
Aku sudah siapuntuk mengatakannya. Lalu kujawab pertanyaan gadis itu.
“Ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu?”
“Hmm.. Apa itu, Kak?” Tanyanya balik padaku.
“Sebenarnya…”
“Sebenarnya apa, Kak?” Lagi ia bertanya.
Sepertinya ia benar benar serius dengan percakapan ini. Aku harus bisa. Harus!. Kukuatkan tekadku agar tidak mengecewakannya.
“Sebenarnya kau sudah tahukan bagaimana perasaanku untukmu?”
“Ak..” Gadis itu terkejut betul.
Wajahnya memerah. Ia menunduk malu. Tak mampu mengucapkan sepatah katapun, gadis itu terdiam. Ia memegang erat roknya.
“Aku juga sudah tahu bagaimana perasaanmu kepadaku”
Mendengar lanjutan dari perkataanku gadis itu tercengang. Beberapa saat kemudian, ia berteiak kecil sambil menutup wajahnya yang mulai tampak kemerahan yang merona dengan tangannya.
“Ah!!”
“D—Dari M—Mana kakak tahu?” Ia jadi begitu gugup. Gerakannya tidak beraturan.
“Tenanglah, Aisyah” Ucapku kepadanya dengan nadadatar.
“Sebenarnya kau sudah tahukan bagaimana perasaanku untukmu?”
“Ak..” Gadis itu terkejut betul.
Wajahnya memerah. Ia menunduk malu. Tak mampu mengucapkan sepatah katapun, gadis itu terdiam. Ia memegang erat roknya.
“Aku juga sudah tahu bagaimana perasaanmu kepadaku”
Mendengar lanjutan dari perkataanku gadis itu tercengang. Beberapa saat kemudian, ia berteiak kecil sambil menutup wajahnya yang mulai tampak kemerahan yang merona dengan tangannya.
“Ah!!”
“D—Dari M—Mana kakak tahu?” Ia jadi begitu gugup. Gerakannya tidak beraturan.
“Tenanglah, Aisyah” Ucapku kepadanya dengan nadadatar.
Aku berusaha menenangkannya. Dan berhasil dengan mulus. Ia langsung tenang ketika itu. Ketika ku mengucapkan namanya dengan lembut. Ya. Namanya Aisyah. Ia tak sanggup menatapku mataku. Begitupun aku. Namun, hati yang bergejolak keras ini amat sulit ditaklukkan. Saat ini, aku sangat ingin bersamanya. Menatapnya terus. Tapi, harus ku tahan. Walau terkadang lirikanku lepas kendali.
“Itu tidak penting saat ini, Aisyah!. Karena ada hal yang akan ku sampaikan ini jauh lebih penting dari pada hal itu.” Kutegaskan suaraku.
“I—Iya… Apa yang ingin kakak sampaikan padaku?” Tanyanya balik.
“Sebaiknya lupakanlah aku, Aisyah”
Mendengar hal itu, ia terdiam. Kaku. Wajahnya tak berekspresi. Aku tahu jelas bagaimana perasaannya kala itu. Ibarat jiwa yang tersambar petir yang kuat dari langit. Suasana kami hening total. Semilir angin berhembus terdengar di telingaku. “Woooshh” seperti itu lah bunyi yang kudengar.
“Itu tidak penting saat ini, Aisyah!. Karena ada hal yang akan ku sampaikan ini jauh lebih penting dari pada hal itu.” Kutegaskan suaraku.
“I—Iya… Apa yang ingin kakak sampaikan padaku?” Tanyanya balik.
“Sebaiknya lupakanlah aku, Aisyah”
Mendengar hal itu, ia terdiam. Kaku. Wajahnya tak berekspresi. Aku tahu jelas bagaimana perasaannya kala itu. Ibarat jiwa yang tersambar petir yang kuat dari langit. Suasana kami hening total. Semilir angin berhembus terdengar di telingaku. “Woooshh” seperti itu lah bunyi yang kudengar.
Aku tak tahu harus berkata apalagi. Aku hanya menunggu respon darinya. Sudah lebih tiga puluh detik kami terdiam. Kudengar ia beristighfar. Lalu ia menegarkan dirinya, ia menatapku seraya berkata
“Kenapa kakak mengatakan hal itu? Apa sebabnya, Kak?” Ia begitu ingin tahu. Aku memasang ekspresi bingung dan menjawab pertanyaannya.
“Itu karena…” perlahan perkataanku senyap. Aku mulai berpikir lagi. Argh! Aku harus komitmen. Aku harus berani. Lalu aku menyambung perkataanku dengan sedikit keras.
“karena aku takut kau akan mengalami kepedihan dan kerinduan yang amat berat. Aku takut, kau tidak bisa konsentrasi pada pelajaranmu, Aku takut, kau akan di kucilkan oleh teman sekelasmu. Aku takut, aku benar-benar takut kau akan pindah ke lain hati. Dan—”
“Bagaimana dengan kakak sendiri?” Secepat kilat ia memotong ucapanku tadi.
“Kenapa kakak mengatakan hal itu? Apa sebabnya, Kak?” Ia begitu ingin tahu. Aku memasang ekspresi bingung dan menjawab pertanyaannya.
“Itu karena…” perlahan perkataanku senyap. Aku mulai berpikir lagi. Argh! Aku harus komitmen. Aku harus berani. Lalu aku menyambung perkataanku dengan sedikit keras.
“karena aku takut kau akan mengalami kepedihan dan kerinduan yang amat berat. Aku takut, kau tidak bisa konsentrasi pada pelajaranmu, Aku takut, kau akan di kucilkan oleh teman sekelasmu. Aku takut, aku benar-benar takut kau akan pindah ke lain hati. Dan—”
“Bagaimana dengan kakak sendiri?” Secepat kilat ia memotong ucapanku tadi.
Dan ketika ku palingkan wajahku padanya. Aku terkejut. Matanya berkaca-kaca. Mencoba menahan air matanya. Ekspresinya begitu kuat, terlihat dan terlukis betapa pedulinya ia padaku di wajahnya. Aku begitu bodoh. BODOH!!! Aku sok tahu tentang perasaan Aisyah. Padahal hanya sedikit yang kuketahui darinya. Dengan spontan aku menjawab.
“Tentu saja! Aku akan tetap mencintaimu. Walaupun—”
“Aku juga begitu, Kak” Sambarnya dengan nada yangsedikit tinggi.
Alangkah terkejutnya batinku. Aku hanya bisa tercengang mendengarnya. Baru pertama kalinya aku mendapat respon yang benar benar seserius ini tentang cinta. Heran dan senang bercampur aduk.
“Kakak pasti bertanya “Kenapa?” Kenapa ada seorang gadis yang berumur tujuh belas tahun benar benar serius tentang hal ini, iyakan?”
Ia menghela nafasnya. Lalu berjalan ke kanan. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Dan melanjutkan perkataannya
“Itu karena…”
Seketika itu ia memalingkan pandangannya lurus padaku seraya melanjutkan ucapannya
“Itu karena perasaanku untukmu bukanlah main-main, Kak. Mungkin kedengarannya bagi kakak childish banget. Terlalu kekanak-kanakan. But, its real. You know, My love for you is real. Tap—” Tak sempat melanjutkan kalimatnya, aku memotong dan berkata dengan cukup keras.
“Tapi, bagaimana bila aku tidak menjadi orang sukses?, bagaimana bila aku jadi gelandangan di luar sana?, Masih maukah kau menungguku? Masih sanggupkah kau menahan dan menyimpan rasa itu?. Tidak!! Iya kan? Kamu tidak akan sanggup Aisyah.”
Tawanya tiba-tiba saja meledak. Walau pelan, aku keheranan di buatnya.
“Kak…Kak.. ? Kakak kok lucu banget sih…”
“Apanya yang lucu, Aisyah” Tanyaku keheranan
“Habis… Kakak ini lucu…”
“?”
“Kakak tidak mentelaah benar kata-kataku tadi rupanya…”
Ia tersenyum manis. Raut mukanya terlihat cerah. Tidak terdapat keraguan yang terlukis di wajahnya. Matanya berbinar. Lalu menlanjutkan ucapannya.
“Kak… Perasaanku padamu itu sungguhan. Aku mencintaimu bukan karena rupamu. Aku juga mencintaimu bukan karena sikapmu yang ramah pada semua orang. Bukan juga karena tuturmu yang lembut dan kekocakanmu.
Bukan pula karena Materi, Tapi… Aku mencintaimu karena Allah”
Kata-kata yang di ucapkan Aisyah menggema di telingaku. Perasaanku jadi aneh Rasa ini seperti sesuatu yang begitu berat. Ya. Rasa bersalah. Ucapannya tadi jelas kalau aku sudah berlebihan padanya. Baik perhatian, kepedulian, hingga rasa sayangku. Ternyata membuahkan hasil yang begitu rumit. Langsung aku menjelaskan pada Aisyah.
“—Maaf Aisyah!. Maaf! Aku benar-benar minta maaf, Aisyah! Tanpa kusadari, aku telah membuatmu seperti ini. Membuatmu di posisi yang begitu sulit. Untuk wanita seusiamu, hal ini akan menjadi hambatan bagimu.”
“Siapa bilang?” Lagi, ia memotong untaian kataku.
Kali ini ekspresinya begitu tegar. Penuh keyakinan.
“Subhanallah… Kakak terlalu mengkhawatirkanku. Kakak terlalu peduli padaku. Sehingga kakak lupa akan diri kakak. Kakak lupa apa tujuan kakak sebenarnya. ”
“Tap—” aku tak sempat menyela ucapannya.
Ia terus berkata dengan lembut. Nada dan vokalnya begitu harmoni kudengar. Aku hanya terdiam dan terus mendengarkannya. Lalu ia berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan lagi ucapannya
“Sekali lagi aku akan mengatakannya, Kak”
“?”
“Aisyah mencintai kakak karena Allah. Jadi, janganlah bimbang untuk maju ke depan. Apapun pilihan yang kakak buat, itulah yang terbaik untuk kakak. Dan itu pula yang terbaik untukku saat ini. Bila kakak pergi, aku sudah siap untuk menanggung resikonya. Menanggung kepedihan dan kerinduan ini. Ku akan selau berdoa kepada Allah agar di beri kekuatan untuk menahannya. Di berikan ketenangan hati dan kesejukan pikiran. Bukankah kakak sendiri yang bilang padaku “Jodoh itu di tangan Allah. Allah telah menyiapkan jodoh yang sesuai dengan kita. Bila kita punya keinginan yang kuat, bekerja keras dan selalu bermunajat kepadaNya. Niscaya Allah mempunyai rencana yang lebih baik dari apa yang kamu harapkan. Allah Maha Mengetaui apa yang dibutuhkan Hambanya”. Jadi apa yang kakak ragukan? Allah itu Maha Adil, Kak. Ia akan membalas setiap kebaikan dengan melipat gandakannya. Tidak perlu khawatir. Iyakan, Kak?”
Ia selesai berbicara. Bersamaan dengan itu, ia menampakkan senyumnya yang penuh keikhlasan. Penuh akan pengertian. Ya. Aku taksanggup menyanggahnya. Ucapannya membangunkanku dan melepaskanku dari jeratan cinta yang menggoda iman.
“Tentu saja! Aku akan tetap mencintaimu. Walaupun—”
“Aku juga begitu, Kak” Sambarnya dengan nada yangsedikit tinggi.
Alangkah terkejutnya batinku. Aku hanya bisa tercengang mendengarnya. Baru pertama kalinya aku mendapat respon yang benar benar seserius ini tentang cinta. Heran dan senang bercampur aduk.
“Kakak pasti bertanya “Kenapa?” Kenapa ada seorang gadis yang berumur tujuh belas tahun benar benar serius tentang hal ini, iyakan?”
Ia menghela nafasnya. Lalu berjalan ke kanan. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Dan melanjutkan perkataannya
“Itu karena…”
Seketika itu ia memalingkan pandangannya lurus padaku seraya melanjutkan ucapannya
“Itu karena perasaanku untukmu bukanlah main-main, Kak. Mungkin kedengarannya bagi kakak childish banget. Terlalu kekanak-kanakan. But, its real. You know, My love for you is real. Tap—” Tak sempat melanjutkan kalimatnya, aku memotong dan berkata dengan cukup keras.
“Tapi, bagaimana bila aku tidak menjadi orang sukses?, bagaimana bila aku jadi gelandangan di luar sana?, Masih maukah kau menungguku? Masih sanggupkah kau menahan dan menyimpan rasa itu?. Tidak!! Iya kan? Kamu tidak akan sanggup Aisyah.”
Tawanya tiba-tiba saja meledak. Walau pelan, aku keheranan di buatnya.
“Kak…Kak.. ? Kakak kok lucu banget sih…”
“Apanya yang lucu, Aisyah” Tanyaku keheranan
“Habis… Kakak ini lucu…”
“?”
“Kakak tidak mentelaah benar kata-kataku tadi rupanya…”
Ia tersenyum manis. Raut mukanya terlihat cerah. Tidak terdapat keraguan yang terlukis di wajahnya. Matanya berbinar. Lalu menlanjutkan ucapannya.
“Kak… Perasaanku padamu itu sungguhan. Aku mencintaimu bukan karena rupamu. Aku juga mencintaimu bukan karena sikapmu yang ramah pada semua orang. Bukan juga karena tuturmu yang lembut dan kekocakanmu.
Bukan pula karena Materi, Tapi… Aku mencintaimu karena Allah”
Kata-kata yang di ucapkan Aisyah menggema di telingaku. Perasaanku jadi aneh Rasa ini seperti sesuatu yang begitu berat. Ya. Rasa bersalah. Ucapannya tadi jelas kalau aku sudah berlebihan padanya. Baik perhatian, kepedulian, hingga rasa sayangku. Ternyata membuahkan hasil yang begitu rumit. Langsung aku menjelaskan pada Aisyah.
“—Maaf Aisyah!. Maaf! Aku benar-benar minta maaf, Aisyah! Tanpa kusadari, aku telah membuatmu seperti ini. Membuatmu di posisi yang begitu sulit. Untuk wanita seusiamu, hal ini akan menjadi hambatan bagimu.”
“Siapa bilang?” Lagi, ia memotong untaian kataku.
Kali ini ekspresinya begitu tegar. Penuh keyakinan.
“Subhanallah… Kakak terlalu mengkhawatirkanku. Kakak terlalu peduli padaku. Sehingga kakak lupa akan diri kakak. Kakak lupa apa tujuan kakak sebenarnya. ”
“Tap—” aku tak sempat menyela ucapannya.
Ia terus berkata dengan lembut. Nada dan vokalnya begitu harmoni kudengar. Aku hanya terdiam dan terus mendengarkannya. Lalu ia berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan lagi ucapannya
“Sekali lagi aku akan mengatakannya, Kak”
“?”
“Aisyah mencintai kakak karena Allah. Jadi, janganlah bimbang untuk maju ke depan. Apapun pilihan yang kakak buat, itulah yang terbaik untuk kakak. Dan itu pula yang terbaik untukku saat ini. Bila kakak pergi, aku sudah siap untuk menanggung resikonya. Menanggung kepedihan dan kerinduan ini. Ku akan selau berdoa kepada Allah agar di beri kekuatan untuk menahannya. Di berikan ketenangan hati dan kesejukan pikiran. Bukankah kakak sendiri yang bilang padaku “Jodoh itu di tangan Allah. Allah telah menyiapkan jodoh yang sesuai dengan kita. Bila kita punya keinginan yang kuat, bekerja keras dan selalu bermunajat kepadaNya. Niscaya Allah mempunyai rencana yang lebih baik dari apa yang kamu harapkan. Allah Maha Mengetaui apa yang dibutuhkan Hambanya”. Jadi apa yang kakak ragukan? Allah itu Maha Adil, Kak. Ia akan membalas setiap kebaikan dengan melipat gandakannya. Tidak perlu khawatir. Iyakan, Kak?”
Ia selesai berbicara. Bersamaan dengan itu, ia menampakkan senyumnya yang penuh keikhlasan. Penuh akan pengertian. Ya. Aku taksanggup menyanggahnya. Ucapannya membangunkanku dan melepaskanku dari jeratan cinta yang menggoda iman.
Untuk pertama kalinya, aku meneteskan air mata di depan seorang wanita selain ibuku. Air mataku itu, membuatku meneguhkan pendirianku. Air mataku langsung ku usap dengan tanganku.
“Terimakasih, Aisyah” Ucapku lembut
“Aku juga berterima kasih padamu, Kak. Atas perhatianmu, atas kepedulianmu yang membuatku merasa begitu nyaman dan bahagia. Karena untuk pertama kalinya, Aku mencintai seseorang dengan begitu tulus.”
“Aku juga, Aisyah. Kau lah inspirasiku saat ini. Yang memberikan pencerahan dalam hidupku.”
“Berteima kasihlah pada Allah yang telah mempertemukan kita, Kak”
Alhamdulillah!.
“Terimakasih, Aisyah” Ucapku lembut
“Aku juga berterima kasih padamu, Kak. Atas perhatianmu, atas kepedulianmu yang membuatku merasa begitu nyaman dan bahagia. Karena untuk pertama kalinya, Aku mencintai seseorang dengan begitu tulus.”
“Aku juga, Aisyah. Kau lah inspirasiku saat ini. Yang memberikan pencerahan dalam hidupku.”
“Berteima kasihlah pada Allah yang telah mempertemukan kita, Kak”
Alhamdulillah!.
Aku begitu lega. Begitu senang. Kami tertawadan saling berbincang mengenai banyak hal setelah itu. Terkadang aku membuatnya geram. Bila ia geram, maka tingkahnya seperti anak kecil. Ha.. ha. Begitu lucu. Perbincangan kami tak begitu lama. Karena Sang Surya hendak kembali keperaduannya. Mungkin ia lelah melihat kami.
Terdengar teriakan teman-temanku menganggil namaku.
“Ayo. Cepat kesana…” Seru Aisyah padaku dengan begitu lembut dan menyuruhku pergi menuju asal suara.
“Iya, Aisyah.. ”
Ia tersenyum. Menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan ekspresinya itu. Ia mendorongku. Tapi aku menahannya.
“Sebelum itu ada lagi yang ingin kukatakan”
Ia menjadi tenang dan begitu memperhatikanku.
“Aku benar-benar akan mempercayakannya kepada Allah. Tentang perasaanku. Dan aku juga percaya padamu, Aisyah”
“Aku juga” Ia memalingkan pandangannya. Pipinya merona. Ia bertanya balik padaku
“Apa hanya itu?”
“Satu lagi”
“?”
“InsyaAllah. Aku akan meminangmu setelah menyelesaikan kuliah”
“HOAA..!!” Ia spontan berteriak. Lalu menanyaiku lagi.
“Apa nggak terlalu cepat, Kak? Apalagi kakak belum tentu menjadi orang sukses. Jad—”
“Aku harus sukses. Karena kesuksesanku akan menjadi bukti nyata untukmu. Untuk rasa ini. Untuk membayar beban kerinduan dan kepedihanmu. Aku harus sukses dan secepatnya mengikatmu.” Perkataanku begitu tenang terdengar.
Tampaknya seluruh keraguanku telah sirna. Aku mendekatinya. Lalu menaruh tangan kananku di atas kepalanya yang di lapis jilbab. Aku mengelus kepalanya. Kemudian melanjutkan ucapanku.
“Maka dari itu. Tunggulah Aku! Nantikan Aku! Aku pasti bisa bila Allah mengizinkan”
“Hm…” Ia mengangguk.
Terdengar teriakan teman-temanku menganggil namaku.
“Ayo. Cepat kesana…” Seru Aisyah padaku dengan begitu lembut dan menyuruhku pergi menuju asal suara.
“Iya, Aisyah.. ”
Ia tersenyum. Menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan ekspresinya itu. Ia mendorongku. Tapi aku menahannya.
“Sebelum itu ada lagi yang ingin kukatakan”
Ia menjadi tenang dan begitu memperhatikanku.
“Aku benar-benar akan mempercayakannya kepada Allah. Tentang perasaanku. Dan aku juga percaya padamu, Aisyah”
“Aku juga” Ia memalingkan pandangannya. Pipinya merona. Ia bertanya balik padaku
“Apa hanya itu?”
“Satu lagi”
“?”
“InsyaAllah. Aku akan meminangmu setelah menyelesaikan kuliah”
“HOAA..!!” Ia spontan berteriak. Lalu menanyaiku lagi.
“Apa nggak terlalu cepat, Kak? Apalagi kakak belum tentu menjadi orang sukses. Jad—”
“Aku harus sukses. Karena kesuksesanku akan menjadi bukti nyata untukmu. Untuk rasa ini. Untuk membayar beban kerinduan dan kepedihanmu. Aku harus sukses dan secepatnya mengikatmu.” Perkataanku begitu tenang terdengar.
Tampaknya seluruh keraguanku telah sirna. Aku mendekatinya. Lalu menaruh tangan kananku di atas kepalanya yang di lapis jilbab. Aku mengelus kepalanya. Kemudian melanjutkan ucapanku.
“Maka dari itu. Tunggulah Aku! Nantikan Aku! Aku pasti bisa bila Allah mengizinkan”
“Hm…” Ia mengangguk.
“Perasaanku saat ini begitu tenang. Hatiku damai. Walau tak ada yang berubah. Sekarang aku telah siap untuk memulai perjalananku.
Kini, Kehidupan sesungguhnya sudah menanti di depan. Walau sulit, aku harus tetap maju. Ya. Terus maju menuju Impianku. Impian yang sangat ingin kuwujudkan itu, adalah menikah dengan Aisyah.
Kini, Kehidupan sesungguhnya sudah menanti di depan. Walau sulit, aku harus tetap maju. Ya. Terus maju menuju Impianku. Impian yang sangat ingin kuwujudkan itu, adalah menikah dengan Aisyah.
THE END
Cerpen Karangan: App
Facebook: https://www.facebook.com/asa.karpyra
APP (Aku Penulis Pemula)
Facebook: https://www.facebook.com/asa.karpyra
APP (Aku Penulis Pemula)
0 Response to "My Love is Real"
Posting Komentar