Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern
oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan
Kajian ini meliputi :
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan.
2. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Para Rasul Secara Umum.
3. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Nabi Muham-mad n Secara Khusus.
4. Sumber dan Referensi Aqidah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
5. Karakteristik Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan.
2. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Para Rasul Secara Umum.
3. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Nabi Muham-mad n Secara Khusus.
4. Sumber dan Referensi Aqidah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
5. Karakteristik Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan
Aqidah Tauhid itu adalah ad-Dien al-Hanif
(agama yang suci), agama yang lurus, agama fitrah yang telah difitrahkan Allah
kepada manusia. Agama Tauhid ini ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri,
sebagaimana ditegaskan oleh dalil yang pasti (qath’i), yaitu al-Qur’an al-Karim
yang merupakan sumber sejarah yang paling otentik dan paling valid. Allah
berfirman,
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Rum: 30)
Nabi Adam ‘alaihis salam itu telah difitrahi aqidah
yang lurus dan Allah telah mengajarkan kepadanya hal-hal yang tidak ia ketahui
tentang urusan agama dan dunia. Maka Nabi adam ‘alaihis salam adalah seorang
yang bertauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan tauhid yang murni,
seraya meyakini bagi Allah apa yang wajib bagi-Nya, seperti kewajiban
mengagungkan dan mematuhi-Nya, berharap dan takut kepada-Nya. Allah telah
memilihnya dari segenap hamba-hamba-Nya yang tulus. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ
اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَاهِيمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى
الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga
Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka
masing-masing).” (Ali ‘Imran: 33)
Dengan hal itu, Allah memuliakannya dan memerintahkan
para malaikat sujud kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ
“Dan ingatlah, ketika Kami berkata kepada malaikat:
Sujudlah kamu kepada Adam”. (al-Baqarah: 34)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengambil janji
dan sumpah setia dari anak-cucu Nabi Adam (manusia) bahwa Allah adalah Rabb
(Tuhan) mereka, dan Allah telah mempersaksikannya terhadap diri mereka semenjak
awal ciptaan mereka ketika mereka masih berada di dalam tulang sulbi (rusuk)
bapak-bapak mereka. Allah berfirman,
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا
إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ
أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan ketu-runan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (al-A’raf:172-173)
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (al-A’raf:172-173)
Semua manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan
fitrah (bertauhid) dan ia akan tumbuh dalam keadaan seperti itu selagi tidak
ada hal-hal yang memalingkan dan menyesatkannya, seperti terdidik atas
kekufuran dan kesesatan, membuntut kepada hawa nafsu dan rayuan setan, syubhat
orang zhalim dan syahwat serta kecintaan pada dunia. Sebuah hadits qudsi
menjelaskan :
وَأَنِّيْ
خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ
فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ،
وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.
“Aku (Allah) telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam
keadaan bertauhid seluruhnya, namun mereka didatangi syetan, lalu menyeret
mereka dari agama yang mereka anut. Syetan pun mengharamkan bagi mereka apa
yang Aku halalkan bagi mereka dan syetan memerintah mereka agar mempersekutukan
Aku dengan sesuatu yang tidak pernah Aku berikan pembenaran…”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memberitakan tentang hal itu, seraya bersabda:
مَا مِنْ
مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يَهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهَ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Tiadalah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam
keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapak-nyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [2]
Terhadap hal ini Allah Subhanahu wa ta’ala
mengisyaratkan dengan firman-Nya:
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنذِرِينَ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan”. (al-Baqarah: 213)
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]
Kemudian, pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam
tersebarlah kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah-pen.) di tengah-tengah
masyarakatnya. Mereka menyembah berhala. Maka dari itu Allah berfirman tentang
Nabi Nuh:
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ {25} أَن
لاَّتَعْبُدُوا إِلاَّاللهَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata
bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah”. (Hud: 25-26)
Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya
aqidah yang lurus dan tauhid yang murni itu merupakan dasar di dalam sejarah
manusia. Kesyirikan, kesesatan dan penyembahan terhadap berhala itu adalah
merupakan hal yang baru datang kemudian, setelah beberapa abad sesudah Nabi
Adam ‘alaihis salam* Wallahu a’lam.
2. Aqidah Tauhid di Dalam Misi Dakwah Para Rasul
Secara Umum
Jika kita cermati kisah-kisah (da’wah) para rasul yang
diceritakan di dalam al-Qur’an dan apa yang terjadi bagi mereka bersama
umatnya, kita akan dapatkan bahwasanya mereka semuanya menyeru umatnya pada
satu seruan, yaitu menyeru mereka untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya dan menyeru mereka agar menjauh dari kesyirikan (penyekutuan terhadap
Allah) sekalipun syari’at mereka berbeda-beda. [4]
Bahkan, masalah da’wah atau menyeru kepada tauhid dan
mengajak untuk menghindari kesyirikan dengan segala sarananya itu adalah
merupakan problem pertama yang diberitakan di dalam al-Qur’an antara para
utusan Allah dengan umatnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman seraya
memberitakan apa yang diserukan oleh para rasul:
وَمَآأَرْسَلْنَا
مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا
فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya Tidak ada tuhan (yang haq)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
(al-Anbiya’: 25)
Firman Allah:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ [r/]
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu”. (an-Nahl:
36)
Firman-Nya juga:
يُنَزِّلُ
الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ
أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu
dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya,
yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada tuhan (yang haq)
melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (an-Nahl:
2)
Jadi, seruan dan da’wah yang paling awal yang dilakukan
oleh semua Rasul itu adalah da’wah kepada tauhid, yaitu hanya beribadah kepada
Allah semata, bertaqwa dan ta’at kepada-Nya serta patuh kepada Rasul-Nya.
Selain Allah menjelaskan hal itu secara general (umum) juga Allah memberitakan
tentang sebahagian mereka secara rinci, seperti berita tentang Nabi Nuh yang
berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ
اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 59)
Tentang Nabi Hud di kala berkata kepada kaumnya,
seraya berfirman:
يَاقَوْمِ
اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 65)
Tentang Nabi Shalih ketika ia berkata kepada kaumnya,
seraya berfirman:
يَاقَوْمِ
اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 73)
Begitu pula tentang Nabi Syu’aib yang berkata kepada
kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ
اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 85)
Tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya,
seraya berfirman:
اعْبُدُوا
اللهَ وَاتَّقُوهُ
“Sembahlah Allah dan bertaqwalah kepada-Nya”.
(al-Ankabut:16)
Seruan atau berda’wah kepada tauhid, memperingatkan
akan bahaya kesyirikan dan seruan kepada perbaikan aqidah adalah merupakan
fundamen asasi di dalam dakwah para rasul, mulai dari utusan Allah yang
pertama, yaitu Nabi Nuh ‘alaihis salam sampai nabi terakhir, Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah misi utama yang dengannya segala urusan
dunia dan agama akan menjadi baik. Maka apabila aqidah manusia benar dan lurus,
niscaya mereka tunduk hanya kepada Allah semata, ta’at kepada Rasul-Nya dan
istiqamah di dalam menjalankan syari’at-Nya berdasarkan petunjuk dan ilmu yang
jelas. Maka dengan begitu segala urusan agama dan dunia mereka menjadi baik dan
lurus.
Tetapi bukan berarti bahwa para Rasul Allah itu tidak
memperhatikan perbaikan pada sendi-sendi lain yang rusak, dan tidak juga
bermakna bahwa mereka tidak mengajak kepada keutamaan-keutamaan yang lain.
Mereka juga telah datang dengan mengajarkan ajaran-ajaran dan syari’at dari
Allah yang harus dijadikan pedoman oleh umat manusia, ajaran dan syari’at yang
dapat memperbaiki segala urusan kehidupan dunia mereka. Mereka juga mengajak
kepada yang ma’ruf, menyerukan perdamaian dan keadilan, dan mencegah
kemunkaran, perbuatan merusak dan kezhaliman. Mereka memerintahkan kepada
setiap kebaikan dan keutamaan dan melarang setiap kejahatan, keburukan dan
kekejian, baik secara rinci maupun global.
Namun, keutamaan yang paling agung adalah tauhid,
mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan bertaqwa kepada-Nya, dan kerusakan
yang paling besar adalah berbuat syirik terhadap Allah. Dan kesyirikan itulah
kezhaliman yang paling besar. Maka dari itu masalah ini menjadi misi paling
utama yang diemban oleh para Rasul.
Demikianlah, maka setiap dakwah yang tidak berdiri di
atas dasar ini (aqidah tauhid), kapan dan di mana saja, maka sesungguhnya
dakwah itu adalah dakwah yang lemah lagi kurang dan dikhawatirkan nasibnya
dikemudian hari adalah kegagalan atau penyimpangan dari jalan yang lurus, atau
bahkan kedua-duanya. Sebab Aqidah Tauhid merupakan dasar yang paling pokok dari
dasar-dasar agama, yang apabila diabaikan oleh umat manusia, maka niscaya
mereka terperosok ke dalam lembah bencana syirik dan bid’ah. Kita memohon
kepada Allah semoga Dia mengaruniakan keselamatan kepada kita semua dari hal
itu.
3. Aqidah TAuhid di Dalam Dakwah Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam
Apabila kita renungkan al-Qur’anul Karim dan sejarah
perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam berdakwah,
niscaya kita akan sampai pada suatu kenyataan yang sangat jelas sekali, yaitu:
- Kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’anul Karim itu membicarakan dan memantapkan aqidah
tauhid, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat,
dan dakwah kepada kemurnian dan ketulusan beribadah dan tunduk hanya
kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam semata, tiada sekutu bagi-Nya
serta pemantapan dasar-dasar aqidah dan keyakinan (iman dan Islam).
- Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi rasul menghabiskan
kebanyakan waktunya untuk memantapkan keyakinan dan aqidah serta berdakwah
menyeru kaumnya untuk beribadah dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala semata. Dan ini merupakan konsekuensi dari La Ilaha Illallah,
Muhammad Rasulullah.
Jadi, seruan kepada Aqidah, baik dalam rangka
pengukuhan (ta’shil) maupun dalam rangka meluruskan itu mencakup bagian yang
paling besar dari upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan waktunya di
saat beliau menjadi nabi.
Untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut ini:
- Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghabiskan waktu selama 23 tahun
untuk berda’wah kepada Allah –ini adalah masa kenabian beliau- 13 tahun
darinya di Mekkah yang beliau habiskan untuk berdakwah dalam rangka
merealisasikan “La ilaha illallah wa Muhammad Rasulullah”.
Maksudnya berdakwah menyeru kaumnya agar bertauhid kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala hanya beribadah dan beruluhiyah kepada-Nya semata, tiada sekutu
bagi-Nya dan menumpas habis kesyirikan dan penyembahan kepada berhala serta
segenap perantara, serta memberantas bid’ah dan segala bentuk keyakinan
dan kepercayaan yang rusak.10 tahun di antaranya beliau habiskan di
Madinah. Masa ini dibagi-bagi untuk menetapkan hukum-hukum syar’i,
memantapkan aqidah dan iman, mengokohkannya, melindunginya dari berbagai
syubhat dan berjihad fisabilillah dalam rangka menebarkan aqidah. Artinya,
bahwa kebanyakan masa 10 tahun itu digunakan untuk mengukuhkan aqidah
tauhid dan dasar-dasar agama (ushuluddin), yang di antaranya adalah
berdebat dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), menjelaskan kepalsuan
aqidah mereka, membabat syubhat-syubhat mereka dan syubhat-syubhat kaum
musyrikin, membendung tipu daya mereka dari Islam dan kaum muslimin. Semua
itu dalam rangka menjaga dan memelihara Aqidah. Maka dakwah apapun yang
tidak memberikan perhatian kepada masalah aqidah sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian kepadanya, baik secara
teori maupun secara praktik, maka dakwah itu adalah dakwah yang pincang.
- Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang adalah dalam rangka
tegaknya aqidah, yaitu aqidah tauhid, agar agama (kepatuhan) hanya kepada
Allah semata. Itulah Aqidah yang terekspresikan di dalam kesaksian bahwa
tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah. Sekalipun pada saat itu berbagai kerusakan dan keburukan
mendominasi kehidupan, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap
menjadikan tujuan perang adalah merealisasikan tauhid dan rukun-rukun
Islam. Beliau telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi
manusia sehingga mereka mau bersaksi bahwa ‘tiada tuhan yang haq selain Allah
dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan
zakat’, maka jika mereka melakukan hal itu berarti mereka telah menyelamatkan
darah mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan urusan batin mereka
diserahkan kepada Allah.” [5]
Itu tidak berarti bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengindahkan masalah-masalah lain, seperti
berda’wah atau menyeru kepada keutamaan, budi pekerti dan akhlak mulia
(seperti: berbuat kebajikan, menjalin hubungan silaturrahmi, tepat janji dan
amanah) serta mengajak manusia untuk meninggalkan lawannya, berupa perbuatan
dosa kecil dan dosa besar seperti riba, zina, zhalim dan memutus hubungan
silaturrahmi. Sama sekali tidak berarti seperti itu. Hanya saja beliau
menempatkannya dalam urutan kedua, yaitu sesudah ushul i’tiqad
(dasar-dasar aqidah). Sebab beliau sebagai qudwah (teladan, anutan)
sadar betul bahwasanya mana-kala manusia ini istiqamah pada dienullah,
tulus ikhlas, patuh dan beribadah hanya kepada-Nya semata, niscaya niat dan
amal mereka menjadi baik, mereka lakukan berbagai kebajikan, mereka tinggalkan
segala bentuk larangan agama, mereka mengajak kepada kebaikan sehingga kebaikan
benar-benar mendominasi kehidupan mereka dan niscaya mereka mencegah
kemungkaran sehingga tidak mendominasi kehidupan mereka.
Jadi, sumber segala kebajikan dan
kebaikan itu sangat tergantung kepada lurusnya Aqidah. Apabila aqidah manusia
ini benar, niscaya mereka istiqamah pada al-haq dan kebaikan. Namun, manakala
aqidah tidak benar, niscaya kondisi mereka rusak dan yang mendominasi kehidupan
mereka adalah nafsu dan perbuatan dosa serta kemungkaran sangat mudah terjadi
bagi mereka. Kepada hal ini hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengisyaratkan:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.[r/]
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam
jasad itu ada segumpal darah, apabila ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad.
Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah
itu adalah hati.” [6]
Di samping Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyeru dan mengajak kepada ketulusan agama kepada Allah
semata (tauhid) dan memerangi manusia agar mereka mengikrarkan Kalimat Tauhid,
beliau juga mengajak kepada seluruh akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur,
secara global dan secara rinci, beliau juga melarang lawannya secara global dan
secara rinci pula.
Di samping perhatian beliau kepada ishlahuddin
(perbaikan agama), beliau juga berbuat untuk perbaikan dunia mereka, namun
beliau lakukan dalam urutan setelah urutan perhatian kepada masalah ‘aqidah dan
ketulusan beragama hanya kepada Allah semata. Ini adalah kenyataan yang banyak
tidak diketahui atau sengaja dilupakan oleh orang-orang yang tidak setuju
dengan masalah ini.
- Jika
kita cermati dan merenung al-Qur’anul Karim yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagi rahmat dan jalan kehidupan (the
way of life) bagi kaum muslimin hingga hari pembalasan kelak, niscaya
kita temukan bahwa mayoritas ayat al-Qur’an itu membicarakan masalah
‘Aqidah dan penegasan akan dasar-dasarnya serta penetapan ibadah,
penyembahan dan kepatuhan itu hanya kepada Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.Sesungguhnya
perintah pertama yang dibawa al-Qur’an dan perintah Allah dan Rasul-Nya
yang harus dilakukan adalah membesarkan dan mengagungkan Allah Subhanahu
wa ta’ala semata, memberikan peringatan kepada manusia akan perbuatan
syirik (menyekutukan Allah), mensucikan diri dari dosa dan maksiat dan
mengasingkan diri dari kebiasaan penyembahan kepada berhala yang dilakukan
oleh orang-orang kafir musyrikin serta sabar dan tabah di dalam
menjalankan semua itu.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ {1} قُمْ فَأَنذِرْ {2} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ {3}
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ {4} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ {5} وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
{6} وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul
(berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhan-mu, bersabarlah.”
(al-Muddatstsir: 1-7)
Kemudian al-Qur’an pun terus
diturunkan ayat-ayatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sepanjang keberadaan beliau di Makkah untuk mengukuhkan dan memantapkan
‘aqidah, berdakwah kepada ketulusan ibadah dan agama hanya kepada Allah semata
dan patuh mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya, kita temukan
kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu berbicara tentang aqidah, baik dengan
ungkapan yang jelas maupun dengan isyarat, dimana kebanyakan ayat-ayat
al-Qur’an itu datang dalam rangka penetapan tauhid uluhiyah dan memurnikan
ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata, tauhid rububiyah, asma wa
shifat, dasar-dasar iman dan Islam, perkara-perkara ghaib, taqdir (baik dan
buruknya), hari kemudian (kiamat), dan surga, penghuni dan kenikmatannya,
neraka, penghuni dan adzab di dalamnya (janji dan ancaman). Semua dasar-dasar
aqidah itu berkisar seputar hal-hal tersebut.
Para ulama telah menyebutkan bahwa
al-Qur’an itu (terdiri dari): sepertiganya adalah hukum, sepertiga lagi adalah
berita (akhbar) dan sepertiga yang lain adalah tauhid. [7] Ini
meruapakan tafsiran mereka terhadap sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam “Qulhuwallahu ahad itu setara dengan sepertiga isi al-Qur’an.” [8]
Hal itu karena sesungguhnya surat “Qulhuwallahu
ahad” itu meliputi ajaran tauhid yang teragung dan mensucikan Allah
Subhanahu wa ta’ala.
Ayat-ayat yang membicarakan hokum
tidak pernah lepas dari pembicaraan mengenai aqidah dan dasar-dasar agama
(ushuluddin). Hal itu melalui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan,
melalui perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dan penjelasan
tentang hikmah (rahasia) di balik tasyri’ (penetapan hukum) dan lain-lainnya.
Demikian pula, ayat-ayat yang
berbicara tentang berita dan kisah-kisah (sejarah) kebanyakannya di dalam
rangka membicarakan iman dan aqidah. Hal itu tampak di dalam berita-berita
tentang masalah-masalah yang ghaib, ancaman, hari Kiamat dan yang serupa
dengannya.
Dengan penjelasan di atas dapat
dikatakan bahwa al-Qur’anul Karim, mayoritas ayat-ayatnya membicarakan
penetapan aqidah, berdakwah kepadanya, mempertahankannya dan berjihad demi
aqidah.
Dan dengan demikian kita sampai pada
suatu kesimpulan yang jelas, yaitu bahwa kewajiban para da’i (aktivis dakwah)
yang menjadikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai pedomannya adalah menyadari dan mengetahui kenyataan ini dari al-Qur’an
dan sunnah, lalu mereka mengamalkannya sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah n
dan para shahabatnya. Allah jualah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang
lurus.
4. Sumber (Referensi) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Aqidah itu mempunyai dua sumber rujukan (referensi),
yaitu:
- Al-Qur’anul
Karim dan
- hadits-hadits
shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu berbicara
tidak berdasarkan hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan.
Adapun Ijma’ ulama salaf juga merupakan sumber yang
dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits. [9]
Sedangkan fitrah dan akal sehat, keduanya merupakan
pendukung yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Keduanya (fitrah dan akal)
mengetahui dasar-dasar aqidah secara global saja, tidak secara rinci. Maka akal
dan fitrah, keduanya mengetahui wujud Allah, keagungan-Nya, keharusan taat dan
beribadah hanya kepada-Nya, Allah bersifat Agung lagi Mulia, namun secara
global.
Sebagaimana halnya pula, akal sehat dan fitrah yang
suci mengetahui keharusan adanya kenabian dan pengutusan para rasul dan
keharusan adanya kebangkitan dan pembalasan terhadap amal perbuatan (di hari
Kiamat) secara global, tidak secara rinci.
Akan tetapi, semua itu dan semua perkara-perkara
ghaib, tidak ada jalan untuk mengetahuinya sedikitpun darinya secara rinci
kecuali melalui jalan al-Qur’an dan Hadits (wahyu), sebab jika tidak, maka ia
tidak disebut sebagai hal yang ghaib.
Bertolak belakangnya nash sharih (yang jelas) dari
al-Qur’an atau Hadits dengan akal sehat itu sama sekali tidak mungkin terjadi
dan mustahil. Apabila ada rasa seolah-olah itu ada, maka wahyu atau nash harus
diutama-kan dan dijadikan patokan, karena nash itu datang atau bersumber dari
orang yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), yaitu Nabi Muhammad n,
sedangkan akal tidak mempunyai jaminan terpelihara dari kesalahan. Akal
hanyalah merupakan pandangan manusia yang lemah (tidak sempurna) [10],
manusia sangat mudah keliru, salah, lupa, mengikuti nafsu, bodoh dan lemah.
Jadi, manusia itu sudah secara pasti merupakan makhluk yang lemah dan tidak
sempurna.5. Beberapa Karakteristik Aqidah Islam dan Penganutnya
Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia
melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat
manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakter dan ciri-ciri bagi
aqidah Ahlus Sunnah, yang membedakannya dan membedakan para penganutnya dengan
jelas dari keyakinan-keyakinan agama-agama, sekte atau aliran-aliran keagamaan
lainnya. Karakter dan ciri-ciri itu diantaranya:
- Keotentikan
sumbernya. Hal itu karena Aqidah Ahlus Sunnah bersandarkan kepada
al-Qur’an, Hadits dan ijma’ para ulama salaf serta penjelasan dari mereka
saja.Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran mutakallimin, ahli
bid’ah dan kaum sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau
kepada kasyaf, ilham, wujd dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia
yang lemah yang mereka jadikan sebagai patokan atau sandaran di dalam
masalah-masalah yang ghaib. Padahal aqidah itu semuanya ghaib.
Sedangkan Ahlus Sunnah selalu
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, ijma’ kaum salaf shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka.
Jadi, aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur’an, hadits, ijma’ salaf
dan penjelasan mereka itu maka ia adalah kesesatan dan kebid’ahan.
Orang-orang yang mengklaim
bahwasanya mereka merujuk suatu ajaran agama berdasarkan akal dan fikiran atau
berdasarkan ilmu kalam dan falsafat atau ilham, kasyaf dan wujd, atau mimpi dan
khayalan, atau melalui orang-orang yang dianggap ma’shum (selain nabi)
atau beranggapan menguasai ilmu ghaib (dari kalangan tokoh, pemimpin, wali
qutub, ghauts dll.) atau mereka beranggapan bahwa boleh bagi mereka
mempraktekkan hukum buatan manusia dan undang-undang yang mereka buat. Maka
siapa saja yang beranggapan seperti itu, sesungguhnya ia telah melakukan
kedustaan yang sangat besar terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka kami
katakan kepada orang yang beranggapan (baca: berkeyakinan) seperti itu
sebagaimana yang difirmankan Allah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang
yang berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu:“Katakanlah: Tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah: 111)
[Bagaimana mungkin ia dapat
memberikan argumentasi selain syubhat-syubhat syetan.
Karakter dari ciri ini, yakni
bersandar kepada al-Qur’an, Hadits dan metode salaf shalih adalah merupakan
salah satu kekhasan Ahlus Sunnah. Nyaris tidak ada perselisihan di kalangan
mereka kapan dan di manapun juga. Segala puji hanya milik Allah.
- Berpegang
teguh kepada prinsip berserah diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan
kepada Rasul-Nya. Sebab, Aqidah adalah masalah ghaib, dan hal yang ghaib
itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan
keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan
Rasul-Nya. (Maksudnya, apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya diterima
dan diyakini sepenuhnya, pen.). Taslim merupakan ciri dan sifat
kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:“Alif
Lam Mim, Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.”
(al-Baqarah: 1-2)Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau
oleh akal, maka dari itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah
aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal
ini sangat berbeda dengan para Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakallimin).
Mereka menyelami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak
mungkin mereka akan mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak
melapangkan akal mereka [11] dengan taslim, berserah diri kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan aqidah mereka dengan ittiba’
dan mereka tidak membiarkan awam kaum muslimin berada pada fitrah yang
telah Allah fitrahkan kepada mereka.
- Sejalan
dengan fitrah yang suci dan akal yang sehat. Hal itu karena aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berdiri di atas prinsip ittiba (mengikuti), Iqtida’
(meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah Subhanahu wa ta’ala,
bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aqidah generasi
terdahulu (salaful ummah). Aqidah Ahlus sunnah bersumber dari
sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang
lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini.Sedangkan aqidah dan keyakinan
golongan yang lain itu hanya khayalan dan dugaan-dugaan yang mem-butakan
fitrah dan membingungkan akal belaka.
- Matarantai
sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para
shahabatnya dan para tabi’in serta para tokoh pemuka agama. Tidak ada –alhamdulillah-
satu dasar pun dari dasar-dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak
mempunyai dasar atau sanad atas qudwah dari para shahabat nabi, tabi’in
dan tokoh pemuka (imam-imam) agama hingga hari Kiamat. Ini sangat berbeda
dengan aqidah kaum mubtadi’ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum salaf di
dalam beraqidah. Aqidah mereka adalah merupakan hal yang baru (bid’ah)
tidak mempunyai sandaran dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, ataupun dari
para shahabat Nabi dan ulama tabi’in. Oleh karena seperti itu adanya maka
ia merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan. [12]
- Jelas
dan gamblang. Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai kekhasan, yaitu gamblang dan
jelas, bebas dari kontradiksi, ketidakjelasan, falsafat dan kerumitan kata
dan maknanya, karena aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang
sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari
depan maupun dari belakangnya, dan (bersumber) dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa
nafsu. Sedangkan aqidah-aqidah dan keyakinan-keyakinan (golongan,
kelompok) yang lain itu berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil
dan tahrif mereka (terhadap teks-teks syar’i). Sungguh sangat jauh
perbedaan antara dua sumber itu, apalagi (jika dilihat dari kaidah) bahwa
aqidah itu tauqifi (sangat terbatas pada nash) dan bersifat ghaib,
tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.
- Bebas
dari kerancuan, kontradiksi dan kesamaran: Aqidah Islam yang murni itu
tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu
karena ia ber-sumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan
Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh
tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap kebenaran
(al-haq) yang mereka miliki dan keterbebasan mereka dari kebingungan,
kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan
para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari salah
satu penyakit tersebut.Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah
keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh
terkemuka mutakallimin (Ahlul Kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi
sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi aqidah salaf; dan kembalinya
kebanyakan mereka kepada taslim dan pengakuan terhadap Aqidah kaum salaf,
terutama ketika usia mere-ka makin senja atau ketika mereka akan
menghadapi maut (kematian), sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan
al-Asy’ari. Beliau telah merujuk (kembali) kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (aqidah salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam karya monumentalnya
“al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah” setelah sebelumnya menganut aqidah
mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara aqidah mu’tazilah dan
aqidah salaf, pen.). Juga Imam al-Baqilani, wafat tahun 403 H, sebagaimana
di-nyatakan di dalam kitab “at-Tamhid”, Abu Muhammad al-Juwaini,
wafat tahun 438 H. (ayah imam al-Haramain) sebagaimana dinyatakan di dalam
kitab “Risalatul Istiwa’ wal Fauqiyyah” dan Imam al-Haramain
(sendiri), wafat tahun 478 H, sebagaiman dinyatakan di dalam kitabnya: “ar-Risalah
an-Nizhamiyyah. Juga seperti Imam asy-Syihristani, wafat tahun 548 H,
sebagaimana dinya-takan di dalam kitab “Nihayatul Iqdam”, dan Imam
al-Fakhrurrazi, wafat tahun 606 H, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Aqsamul
Ladzdzat”, dan banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [13]
Secara umum, para penganut Aqidah
Ahlus Sun-nah wal Jama’ah selamat dari ketidakjelasan terhadap masalah bid’ah,
kesyirikan dan dosa-dosa besar. Ahlus Sunnah secara umun merupakan kelompok
yang paling selamat, tidak terjerumus ke dalam lembah bid’ah, dan tidak terjadi
kemusyrikan (penyekutuan terhadap Allah) pada mereka. Adapun dosa-dosa kecil,
perbuatan mak-siat ataupun dosa besar adakalanya sebahagian dari mereka jatuh
di dalamnya, namun kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan dengan madzhab
lainnya. Sedangkan selain Ahlus Sunnah tidak ada yang selamat dari salah satu
virus bid’ah-bid’ah dan kesyirikan, sebagai-mana kemaksiatan dan dosa-dosa
besar secara umum lebih banyak terjadi pada kalangan Ahlul Iftiraq
(Ahlul Bid’ah).
Kaum mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah
dan tidak sedikit pula dari madzhab Asya’irah (Asy’ariyah) dan lainnya yang
berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu, mereka menyelami masalah yang ghaib
tanpa didasari ilmu. Kaum sufi, kaum pencinta kuburan dan seluruh ahli bid’ah
menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berdasarkan syari’at yang telah Allah
tetapkan. Rafidhah (Syi’ah), kelompok kebatinan dan yang serupa dengan
mereka telah berbuat dusta dengan mengatasnamakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan
mereka mengada-ada atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga
kedustaan bagi mereka menjadi ajaran agama yang harus dipatuhi. Kaum Khawarij
pun demikian, mereka ekstrim di dalam memahami agama, maka Allah mempersulit
mereka.
- Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi kemenangan dan
kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Di antara ciri khas Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah:Bahwa Aqidah Ahlus Sunnnah
merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan
keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada umat
manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang
berpegang teguh kepada aqidah ini, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
golongan yang menang lagi diberi pertolongan, golongan yang tidak
terbahayakan oleh siapa saja yang tidak menghiraukan ataupun memusuhinya
hingga hari Kiamat kelak, sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melalui sabdanya:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
“Akan tetap ada segolongan dari
umatku yang berdiri di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka
siapa yang tidak menghiraukannya hingga perintah Allah tiba (hari Kiamat) dan
mereka pun tetap seperti itu.” [14]
- Ia
merupakan Aqidah al-Jama’ah dan kesatuan: Hal itu, karena aqidah ini
merupakan jalan yang paling agung (efektif) untuk menyatukan kekuatan kaum
muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak
dari urusan agama dan dunia mereka. Sebab, aqidah Ahlus Sunnah (mampu)
mengembalikan mereka kepada al-Qur’an, Sunnah (hadits) dan sabilil
mu’minin (jalan kaum muslimin). Ciri khas ini selama-lamanya tidak
mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga dakwah
apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut Aqidah ini. Sejarah
adalah saksi bagi kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh
kepada sunnah (Aqidah Ahlus Sunnah, pen) sajalah yang dapat menyatukan
kekuatan kaum muslimin yang berserakan, hanya dengannyalah jihad serta
amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak, dan dengannya pula Islam menjadi
mulia (berwibawa di hadapan mata asing, pen) baik dahulu maupun sekarang,
baik mulai zaman para khulafa’ar-Rasyidin, kekuasaan Dinasti Umayyah, awal
kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah, pada awal kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, pada
masa kekuasaan Shalahuddin al-Ayubi dan kekuasaan Daulah Islamiyah di
Andalusia serta pada masa Kerajaan Saudi Arabia di mana Sunnah dibela,
tauhid dida’wahkan, segala bentuk bid’ah dan perbuatan kesyirikan
diperangi dan tanah-tanah suci disucikan darinya. Dan hingga sekarang
masih dalam kondisi sedemikian –Alhamdulillah-, dan memang harus tetap
seperti itu sepanjang kekuasaannya. Kebanyakan negara-negara tersebut,
ketika terjadi perpecahan di dalamnya dan bid’ah merajalela, maka negara-negara
itu pun rapuh dan pada akhirnya tumbang. Dan negara-negara yang tidak
berdiri di atas Sunnah maka (biasanya) ia menyebarkan kekacauan,
perpecahan dan bid’ah, mematikan jihad dan menyebarluaskan kemungkaran,
selalu dilanda kekalahan dan diliputi kebodohan terhadap ajaran agama
serta Sunnah pun lenyap. Hal itu terjadi seperti pada kekuasaan (negara)
Rafidhah (Syi’ah), Bathiniyah, Qaramithah dan Sufiyah; dan juga seperti
pada kekuasan Dinasti Buwaih dan Fathimiyah yang mencerai-beraikan kaum
muslimin dan menyebarluaskan bid’ah dan berbagai macam perbuatan
kesyirikan.Dan ketika Mu’tazilah mempunyai kementerian dan markaz-markaz
kekuasaan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah timbullah berbagai
bid’ah Kalam, para pemuka Ahlus Sunnah dikepung dan dipenjara, bahkan umat
secara umum dilanda fitnah dan cobaan yang sangat berat di dalam
mempertahankan agama atau aqidah mereka, sampai menimpa para tokoh
ulamanya.
- Utuh,
Kokoh Dan Tetap Langgeng. Di antara ciri terpenting Aqidah Ahlus Sunnah
adalah utuh, kokoh langgeng dan selalu sama (tidak mengalami perbedaan).
Jadi, Aqidah mereka di dalam masalah yang prinsipil (ushuluddin) utuh dan
sama sepanjang masa dan (akan tetap seperti itu) hingga hari Kiamat kelak.
Artinya adalah Aqidah Ahlus Sunnah itu selalu sama, utuh dan terpelihara
baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata maupun maknanya. Ia
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan,
tahrif, talfiq (pencampur adukan) dan kerancuan, dan tidak pernah
mengalami penambahan maupun pengurangan. Sebabnya adalah karena Aqidah
Ahlus Sunah bersumber langsung dari al-Qur’an yang tidak datang kepadanya
kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari Hadits
atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah
berbicara berdasarkan hawa nafsu. Aqidah ini telah dipelajari dan diterima
oleh para shahabat nabi, kemudian oleh para tabi’in, lalu para tabi’in
generasi berikutnya dan kemudian oleh para imam atau pemuka agama yang
berpegang teguh kepada tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
sampai sekarang, baik secara riwayat maupun secara keilmuannya dan baik
secara pengajaran maupun secara tulisan.Sebagai contoh, keyakinan Ahlus
Sunnah di dalam masalah sifat Allah baik secara global maupun secara rinci
masih tetap sama tidak terjadi perbedaan, begitu pula di dalam masalah
Kalamullah, al-Qur’an, istiwa’ (Allah bersemayam di atas ‘Arasy), nuzul
(Allah turun ke permukaan bumi di sepertiga malam terakhir), ru’yah
(melihat Allah di akhirat), dan keyakinan mereka di dalam masalah taqdir
(qadar), iman, syafa’at, tawassul dan lain-lainnya. Semuanya masih tetap
sama sebagaimana dinukil dari salaf dan kurun ketiga pertama yang penuh
berkah (al-qurun al-fadhilah). Ini adalah merupakan jaminan Allah di dalam
memelihara ajaran agama-Nya.
Berbeda halnya dengan golongan dan
madzhab yang lain. Katakanlah seperti madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah yang
merupakan madzhab yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah. Mereka gamang di dalam
masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan Ulama Salaf (Aqidah salaf)
disebabkan ta’wil dan bid’ah yang mereka lakukan. [15] Di dalam aqidah
mereka terjadi banyak talfiq (ketidak pastian), kerancuan dan keragu-raguan
serta sikap tawaquf (abstain) di dalam masalah aqidah yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya, dan mereka membuat lafazh-lafazh (istilah-istilah) dan
makna-makna baru yang tidak ada di dalam wahyu al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Catatan Kaki :
[1] Riwayat Imam Muslim di dalam Shahihnya, Kitabul
Jannah wa Shifatu Na’imiha wa Ahliha, Hadits No. 2865, Vol. 3, hal. 2197.
[2] Muttafaq Alaih, Shahih Al-Bukhari, Kitab Jana’iz, bab
Idza Aslama ash-Shobi (Fathulbari, juz 3, hal. 219); Shahih Muslim, Kitab
al-Qadar, Vol.3, hal. 1047, hadits no. 2651.
[3] Lihat Tafsir at-Thabari, juz.2. hal.194-195, Tafsir
Ibnu Katsir, vol.1. hal. 218 dan lihat pula buku “Da’watut tauhid, karya DR.
Muhammad Khalil Harras, hal. 106-119.
[4] Tathhirul I’tiqad, karya ash-Shan’ani, hal. 5.
[5] Shahih Bukhari: Kitabul Iman, bab :jika mereka
bertobat dan menegakkan shalat. (Fathul Bari, hadits ke 24, juz.1. hal.74, dan
Shahih Muslim: Kitabul Iman, bab: perintah memerangi manusia sehingga mereka
bersyahadat, Hadits. No. 22, juz.2. hal. 53. Hanya saja di dalam riwayat Muslim
tidak disebutkan ungkapan “kecuali dengan hak Islam”.
[6] Hadits riwayat Bukhari di dalam Shahih-nya: Kitabul
Iman, hadits no. 52. (Fathul Bari: vol.1. hal.126) dan Imam Muslim di dalam
Shahih-nya: Kitabul masaqat, bab :mengambil yang halal. Hadits no. 1599. vol.
3. hal. 122.
[7] Di antara mereka yang berpendapat seperti itu adalah
Ibnu Suraih, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya
kepada mereka. Lihat kitab: Jawabu Ahlil IImi wal Iman Bitahqiqi ma Akhbara
bihir Rahman min Anna “Qul Huwallahu Ahad” Ta’dilu Tsulutsal Qur’an, karya Ibnu
Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa; vol. 17. hal. 13, 101 dan 103. Lihat pula :
Fathul Bari, vol. 9. hal. 61.
[8] Hadits riwayat Imam Bukhari kitab Fadla-ilul Qur’an,
Fathul Bari, Vol.9, hal. 61 dan Imam Muslim kitab Shalatul Musafir hadits no.
811. Dan redaksinya adalah menurut riwayat Muslim.
[9] I’tisham, karya asy-Syathibi, vol. 2, hal. 252.
[10] Lihat: Syarhul ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu
Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 140-141, dan kitab: Dar’u Ta’arudil ‘Aqli Ma’an
Naqli, karya Ibnu Taimiyah, vol. 1, hal: 88-280.
[11] Hal ini tidak boleh dipahami bahwa Islam mengekang
akal, menon-aktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada
manusia, malah sebaliknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk
mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup untuk
merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah, urusan kehidupan, cagar alam
nan luas serta keajaiban-keajaiban jiwa yang begitu banyak. Sesungguhnya
sebagaimana yang telah saya katakan bahwa Allah tidak membuat manusia tidak
perlu lagi berfokus ke arah yang tidak dapat di jangkaunya dari hal-hal yang
gaib, hal itu sebagai kasih sayangnya terhadap ajal yang menjaganya dari
kelelahan dan keterlenaan di dalam kesenangan-kesenangan yang tidak dapat ia
selami kedalamnya –Wallahu a’lam-.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah; vol.1, hal. 9.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hal. 72-73;
Dar’ut Ta’arudh, vol. 1, hal. 157-170; Syarah ath-Thahawiyyah, karya Ibnu Abil
‘Izzi, hal. 242-247; dan Pengantar Syu’aib al-Arna’uth terhadap kitab “Aqawiluts
Tsiqat”, karya Imam Mar’i bin Yusuf al-Karami (wafat: 1033). Hal. 14-22.
[14] Diriwayatkan oleh Imam Muslim kitab “al-Imarah” dan
at-Turmudzi kitab “al-Fitan” bersumber dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Imam
at-Turmudzi berkata hadits hasan shahih.
[15] Untuk lebih jauh, silahkan baca Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyah, juz. 4, hal.1-30 dan hal. 50-97
Hal-hal yang Membatalkan Iman
Kitab Tauhid 2
oleh: Team Ahli Tauhid
oleh: Team Ahli Tauhid
Pembatal iman atau “nawaqidhul
iman” adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman sesudah iman masuk didalamnya
yakni antara lain:
1. Mengingkari rububiyah Allah atau
sesuatu dari kekhususan-kekhususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari
kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di
dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita
selain masa’, dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24)
2. Sombong serta menolak beribadah
kepada Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan
tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa
yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan
berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan me-nambah
untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan
menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih,
dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong
selain daripadaNya.” (An-Nisa’: 172-173)
3. Menjadikan perantara dan
penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata,
‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah,
‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di
langit dan tidak (pula) di bumi? Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang
mereka persekutukan (itu).” (Yunus: 18)
“Hanya bagi Allah-lah (hak
mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang meraka sembah selain Allah
tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang
membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya,
padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang
itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Radu: 14)
4. Menolak sesuatu yang ditetapkan
Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh RasulNya.
Begitu pula orang yang menyifati
seseorang (makhluk) dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah, seperti ilmu
Allah. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan Allah dari diriNya atau
yang telah dinafikan dariNya oleh RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam.
Allah berfirman kepada Rasulnya:
“Katakanlah, Dialah Allah, yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-4)
“Hanya milik Allah asma’ husna ,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-A’raf:
180)
“Tuhan (yang menguasai) langit dan
bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh
hatilah dalam beribadat kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang
sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
5. Mendustakan Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam tentang sesuatu yang beliau bawa.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang
yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulNya); kepada mereka telah
datang rasul-rasulNya dengan mambawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang
memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir;
maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaanKu.” (Fathir: 25-26)
6. Berkeyakinan bahwa petunjuk
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak sempurna atau menolak suatu hukum
syara’ yang telah Allah turunkan kepadanya, atau meyakini bahwa selain hukum
Allah itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi hajat manusia, atau
meyakini kesamaan hukum Allah dan RasulNya dengan hukum yang selainnya, atau
meyakini dibolehkannya berhukum dengan selain hukum Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak ber-hakim kepada thagut itu, padahal
mereka telah diperintah meng-ingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
7. Tidak mau mengkafirkan
orang-orang musyrik atau ragu tentang kekafiran mereka, sebab hal itu berarti
meragukan apa yang dibawa oleh baginda Rasul Shalallaahu alaihi wasalam.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “…dan mereka berkata, Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu
disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam
keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya.”
(Ibrahim: 9)
8. Mengolok-olok atau mengejek-ejek
Allah atau Al-Qur’an atau agama Islam atau pahala dan siksa dan yang
sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam atau
seorang nabi, baik itu gurauan maupun sungguhan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesung-guhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
9. Membantu orang musyrik atau
menolong mereka untuk memusuhi orang muslim.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi pemimpin yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesung-guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
(Al-Maidah: 51)
10. Meyakini bahwa orang-orang
tertentu boleh keluar dari ajaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan
tidak wajib mengikuti ajaran beliau.
Allah berfirman: “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu,
dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
11. Berpaling dari agama Allah,
tidak mau mempelajarinya serta tidak mau mengamalkannya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)
Inilah sebagian pembatal-pembatal
iman yang paling nyata. Masih banyak pembatal-pembatal iman yang lain seperti
sihir, menolak Al-Qur’an baik sebagian maupun keseluruhannya, atau meragukan
ke-mu’jizatannya atau menghina mushaf atau sebagiannya, atau menghalalkan
sesuatu yang sudah disepakati keharamannya seperti zina atau khamar, atau
menghujat agama serta mencelanya.
Na’udzu billah min dzalik. Wallahu a’lam!
Na’udzu billah min dzalik. Wallahu a’lam!
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran
dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal
yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi
persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan
menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan,
sehingga hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut
dengan menyudahi hidup, sekali pun dengan bunuh diri, sebagaimana yang terjadi
pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar.
Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar
merupakan masyarakat bahimi (hewani), tidak memiliki prinsip-prinsip hidup
bahagia, sekali pun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering
menyeret mereka pada kehancuran, sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat
jahiliyah.
Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih
(pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan yang benar
kecuali aqidah shahihah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mu’minun: 51)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud
kurnia dari Kami. (Kami berfirman): ‘Hai gunung-gunung dan burung-burung,
bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud’, dan Kami telah melunakkan besi
untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya;
dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Saba’: 10-11)
Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari
kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng kepada
aqidah batil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan
alat perusak, seperti yang terjadi di negara-negara kafir yang memiliki materi,
tetapi tidak memiliki aqidah shahihah.
Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah shahihah yang
harus kita ketahui yaitu:
- Kebodohan
terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan
mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga
tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak
mengetahui lawan atau kebalikannya.Akibatnya, mereka meyakini yang haq
sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar Radhiallaahu anhu :
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.” - Ta’ashshub
(fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya,
sekali pun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekali
pun hal itu benar. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa
Ta’ala: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
- Taqlid
buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa
mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya.
Sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan seperti Mu’tazilah,
Jahmiyah dan lainnya. Mereka bertaqlid kepada orang-orang sebelum mereka
dari para imam sesat, sehingga mereka juga sesat, jauh dari aqidah
shahihah.
- Ghuluw
(berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta
mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga meyakini pada
diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik
berupa mendatangkan kemanfaatan maupun menolak kemudharatan.Juga
menjadikan para wali itu sebagai perantara antara Allah dan makhlukNya,
sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan
menyembah Allah. Mereka bertaqarrub kepada kuburan para wali itu dengan hewan
qurban, nadzar, do’a, istighatsah dan meminta pertolongan.Sebagaimana
yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam terhadap orang-orang shalih
ketika mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” [1]
(Nuh: 23)Dan demikianlah yang terjadi pada pengagung-pengagung kuburan di
berbagai negeri sekarang ini.
- Ghaflah
(lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya
ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam KitabNya
(ayat-ayat Qur’aniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil
teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah
hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia
serta menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan
manusia semata.Sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan: “Sesungguhnya
aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al-Qashash:
78)Dan sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong: “Ini adalah
hakku …” (Fushshilat: 50)”Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah
karena kepintaranku”. (Az-Zumar: 49)Mereka tidak berpikir dan tidak pula
melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah
menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah
menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna
menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta mengfungsikannya demi
kepentingan manusia.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Ash-Shaffat: 96)
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, …” (Al-A’raf: 185)
“Allah-lah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia
mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu,
dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan
dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan
Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya.” (Ibrahim: 32-34)
Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan
yang benar (menurut Islam). Padahal baginda Rasulullah telah bersabda: “Setiap
bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang-tuanyalah yang
(kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Jadi, orangtua mempunyai peranan besar dalam
meluruskan jalan hidup anak-anaknya. Enggannya media pendidikan dan media
informasi melaksanakan tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak
memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada
yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi, baik media cetak
maupun elektronik berubah menjadi sarana penghancur dan perusak, atau paling
tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat materi dan hiburan semata.
Tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan
moral dan menanamkan aqidah serta menangkis aliran-aliran sesat. Dari sini,
muncullah generasi yang telanjang tanpa senjata, yang tak berdaya di hadapan
pasukan kekufuran yang lengkap persenjataannya.
Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas
dalam point-point berikut ini:
- Kembali
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk
mengambil aqidah shahihah. Sebagaimana para Salaf Shalih mengambil aqidah
mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali
apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah
golongan sesat dan mengenal syubhat-syubhat mereka untuk kita bantah dan
kita waspadai, karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia
dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
- Memberi
perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai
jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan
evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan
kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan
kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
- Menyebar
para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah
salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.
[1] Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama
berhala-berhala yang terbesar pada kabilah-kabilah kaum Nabi Nuh, yang semula
nama-nama orang shalih. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
pen.).
Sumber-sumber Aqidah Yang Benar dan Manhaj Salaf dalam mengambil Aqidah
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya,
tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan
berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa
yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab tidak seorang pun yang lebih
mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus
disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah
yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam.
Oleh karena itu manhaj Salafus
Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka segala apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
tentang hak Allah mereka mengimaninya, meyakininya dan mengamalkannya.
Sedangkan apa yang tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka
menolak dan menafikannya dari Allah. Karena itu tidak ada pertentangan di
antara mereka di dalam i’tiqad. Bahkan aqidah mereka adalah satu dan jama’ah
mereka juga satu.
Karena Allah sudah menjamin orang
yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya dengan kesatuan kata,
kebenaran aqidah dan kesatuan manhaj. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, …” (Ali Imran: 103)
“Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripadaKu, lalu barangsiapa yang mengikut petunjukKu, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.” (Thaha: 123)
Karena itulah mereka dinamakan
firqah najiyah (golongan yang selamat). Sebab Rasulullah telah bersaksi bahwa
merekalah yang selamat, ketika memberitahukan bahwa umat ini akan terpecah menjadi
73 golongan yang kesemuanya di Neraka, kecuali satu golongan. Ketika ditanya
tentang yang satu itu, beliau menjawab: “Mereka adalah orang yang berada di
atas ajaran yang sama dengan ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku.” (HR.
Ahmad)
Kebenaran sabda baginda Rasul
Shallallaahu alaihi wa Salam tersebut telah terbukti ketika sebagian manusia
membangun aqidahnya di atas landasan selain Kitab dan Sunnah, yaitu di atas
landasan ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq yang diwarisi dari filsafat
Yunani dan Romawi maka terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam aqidah
yang mengakibatkan pecahnya umat dan retaknya masyarakat Islam.
Hal-hal yang Membatalkan Iman
Kitab Tauhid 2
oleh: Team Ahli Tauhid
oleh: Team Ahli Tauhid
Pembatal iman atau “nawaqidhul
iman” adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman sesudah iman masuk didalamnya
yakni antara lain:
1. Mengingkari rububiyah Allah atau
sesuatu dari kekhususan-kekhususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari
kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di
dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita
selain masa’, dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24)
2. Sombong serta menolak beribadah
kepada Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan
tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa
yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan
berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan me-nambah
untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan
menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih,
dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain
daripadaNya.” (An-Nisa’: 172-173)
3. Menjadikan perantara dan
penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata,
‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah,
‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di
langit dan tidak (pula) di bumi? Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang
mereka persekutukan (itu).” (Yunus: 18)
“Hanya bagi Allah-lah (hak
mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang meraka sembah selain
Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti
orang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke
mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah)
orang-orang itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Radu: 14)
4. Menolak sesuatu yang ditetapkan
Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh RasulNya.
Begitu pula orang yang menyifati
seseorang (makhluk) dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah, seperti ilmu
Allah. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan Allah dari diriNya atau
yang telah dinafikan dariNya oleh RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam.
Allah berfirman kepada Rasulnya:
“Katakanlah, Dialah Allah, yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-4)
“Hanya milik Allah asma’ husna ,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-A’raf:
180)
“Tuhan (yang menguasai) langit dan
bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh
hatilah dalam beribadat kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang
sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
5. Mendustakan Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam tentang sesuatu yang beliau bawa.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang
yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulNya); kepada mereka telah
datang rasul-rasulNya dengan mambawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang
memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir;
maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaanKu.” (Fathir: 25-26)
6. Berkeyakinan bahwa petunjuk
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak sempurna atau menolak suatu hukum
syara’ yang telah Allah turunkan kepadanya, atau meyakini bahwa selain hukum
Allah itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi hajat manusia, atau
meyakini kesamaan hukum Allah dan RasulNya dengan hukum yang selainnya, atau
meyakini dibolehkannya berhukum dengan selain hukum Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak ber-hakim kepada thagut itu, padahal
mereka telah diperintah meng-ingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
7. Tidak mau mengkafirkan
orang-orang musyrik atau ragu tentang kekafiran mereka, sebab hal itu berarti
meragukan apa yang dibawa oleh baginda Rasul Shalallaahu alaihi wasalam.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “…dan mereka berkata, Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu
disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam
keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya.”
(Ibrahim: 9)
8. Mengolok-olok atau mengejek-ejek
Allah atau Al-Qur’an atau agama Islam atau pahala dan siksa dan yang
sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam atau
seorang nabi, baik itu gurauan maupun sungguhan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesung-guhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)
9. Membantu orang musyrik atau
menolong mereka untuk memusuhi orang muslim.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi pemimpin yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesung-guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”
(Al-Maidah: 51)
10. Meyakini bahwa orang-orang
tertentu boleh keluar dari ajaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan
tidak wajib mengikuti ajaran beliau.
Allah berfirman: “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu,
dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
11. Berpaling dari agama Allah,
tidak mau mempelajarinya serta tidak mau mengamalkannya.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)
Inilah sebagian pembatal-pembatal
iman yang paling nyata. Masih banyak pembatal-pembatal iman yang lain seperti
sihir, menolak Al-Qur’an baik sebagian maupun keseluruhannya, atau meragukan
ke-mu’jizatannya atau menghina mushaf atau sebagiannya, atau menghalalkan
sesuatu yang sudah disepakati keharamannya seperti zina atau khamar, atau
menghujat agama serta mencelanya.
Na’udzu billah min dzalik. Wallahu a’lam!
Na’udzu billah min dzalik. Wallahu a’lam!
0 Response to " Studi Kritis Tentang Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Sikap Pergerakan Islam Modern "
Posting Komentar