Kafir dalam Tradisi Keagamaan dalam Penafsiran Hermeneutika
source image: Alinea.id |
Kafir
secara prinsipil atau mendasar dalam aqidah Islam itu sudah final. Karena itu persoalan pokok dan semua ulama menyepakati semua itu. Kata kafir lawan
kata dari beriman. Belakangan ini kita diributkan dengan pertentangan dengan
istilah kafir asbabul dari hasil munas NU di Banjarmasin. Berbagai serangan
argumentasi dialamatkan kepada ulama-ulama NU. Mulai dari mau menghilangkan
kata kafir itu dalam alquran, mau mengandemen alquran, atau bahkan ganti
sekalian surah Al-kafirun itu dalam al-quran. Tulisan ini bukan untuk mendukung
pandangan ulama NU atau bahkan mendukung orang-orang yang tidak sepaham dengan
NU. Tetapi penulis mencoba memunculkan sebuah penafsiran dari hasil Munas NU
itu meskipun saya tidak membacanya secara menyeluruh(hadir dalam dalam dialog)
hasil Munas itu. Namun pada intinya sebelum menghukumi apalagi menyerang suatu
hasil MUNAS seyogyanya dibaca secera menyeluruh hasil kesepakatan itu. Ada lima
poin hasil MUNAS, namun yang paling mengundang perhatian adalah poin KAFIR pada
munas itu. Makanya kemarin penulis mencoba mendiskusikan dalam suatu kajian
bersama di Rumah Kajian Filsafat, yang mana temanya adalah “Menafsir kembali
penunjukan “kafir” dalam tradisi keagamaan” dimana kita mengundang pembicaranya
adalah Prof. Dr. Moch. Qasim Mathar.
Kata
kafir ini sesungguhnya berkembang berdasarkan ruang, waktu, dan pemikiran.
Namun, dalam ruang lingkup aqidah itu sudah menjadi dasar bahwa tidak ada lagi
tawar menawar untuk menolaknya atas kekafiran seseorang jika memag bertentangn
dengan prinsip dasar Islam. Orang non-islam bisa saja mereka juga melabeli
orang islam atau agama-agama lain diluar agamanya melabelinya dengan sebutan
yang hampir sama dengan kata kafir namun katanya berbeda, misalnya domba
tersesat dan lainya, dan itu wajar dalam mengukur kebenaran agama terhadap
pemeluk agama lain sepanjang memang itu ada dalam agamanya. Jadi, persoalaan
mendasar itu sudah selesai sejak dulu. Namun yang menjadi perdebatan
akhir-akhir ini adalah seakan-akan kata kafir ini dalam term akidah seakan-akan
diseret juga ke ruang publik atau ke kehidupan bernegara apalagi mendekati
pemilu dan pilres semakin hari identitas beragama selalu dibawa-bawa untuk
mencitrakan bahwa calon presiden kurang islam, satunya sangat islam, atau
keturunan non-islam.
NU
menyadari itu sebagai sesuatu yang bisa mengancam keutuhan berbangsa dan
bernegara. Maka, diinisiasi dan diputuskan bahwa tidak menggunakan penyebutan
kafir untuk warga Negara Indonesia yang tidak memeluk agama islam. Karena
dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati
untuk tidak menggunakan kata kafir tapi Muwathinun
atau warga Negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga Negara
yang lain. Kalau kita mau merujuk pada Piagam Madinah, disana hanya disebutkan
sekali kata kafir. Kemudian penyebutan penganut agama selain Islam termasuk Yahudi
mereka dipanggil kaum Yahudi begitupun dengan kaum Nasrani bukan kata kafir.
Terus
bagaimana dengan surah Al-kafirun yang jelas-jelas dinyatakan dalam satu surah?
Apakah itu tidak cukup bukti bahwa mereka bukan kafir, atau mereka (NU) mau
mengganti kata Al-Kafirun itu menjadi NON-MUSLIM.
Seperti penulis katakan tadi bahwa label kafir ini berkembang sesuai ruang,
waktu, dan pemikiran. Kalau kita mengetahui asbabul
nuzul surah Al-Kafirun itu, tentu pertanyaanmu itu tidak serta merta
menjadi dasar untuk menyerang mereka bahwa Al-quran mau diamandemen. Kalau kita
melihat konteks turunnya surah Al-Kafirun itu, karena pada waktu penyembah
berhala(Pagan) dalam hal ini kaum kafir Mekkah mengajak nabi Muhammad untuk
menyembah apa yang disembah oleh mereka,
begitupun dengan ketika Nabi menyembah Allah mereka juga akan ikut
menyembahnya. Apakah mereka orang Yahudi atau Nasrani? Tentunya bukan. Jadi
bagaimana dengan selain Yahudi dan Nasrani misalnya Hindu, Budha, dan Konghucu,
Dll? Okey sekarang kite perluas pelabelan mereka dalam konteks kehidupan
bernegara.
Kita
sepakat bahwa kita bukan Negara Islam yang diatur syariat sepenuhnya atau
Negara kerajaan seperti Malaysia. Tetapi kita hidup dalam suatu Negara Republic
atau Nation State, dimana semua
orang, agama, ras, etnis, suku bersamaan derajatnya dalam hukum dan pemerintahan,
duduk sama rata, berdiri sama tinggi. Tidak ada agama satupun yang
disitimewakan. Sebagai agama mayoritas(Islam) semestinya hadir dan mengajak
semua pemeluk agama yang lain dalam menjaga keutuhan Negara kesatuan ini. Kita
bisa mengingat kembali, ketika Nabi Muhammad mengirim utusan ke Kerajaan Ethiopia,
raja Persia Khusraw Parves, dan Bizantium Heraclius. Nabi tidak mengajak mereka
dengan label kafir. Tapi mereka mengajak untuk kembali kepada kemurnian tauhid
yang dibawah oleh Muhammad dengan kata dan bahasa yang beretika. Dalam konteks ini, ruang-ruang dalam
kehidupan bernegara pelabelan-pelabelan istilah aqidah semestinya tidak
dibawa-bawa dalam ranah publik yang multi agama seperti konteks ke Indonesia-an
ini. Karena terminology kafir itu masuk dalam pemabahsan aqidah, mungkin kita
bisa memakainya ketika kita membahas pengajian dengan tema khusus aqidah tadi.
Terus
bagaimana dengan ayat yang mengatakan “ Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa” (QS 5:73). Tuhan sendiri mengatakan bahwa kafir orang
yang mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan.
Otomatis orang Nasrani adalah Kafir?. Kalau kita mengingat kembali konsili
Nicea 1 dan 2, ketika pembesar-pembesar Nasrani melakukan suatu pertemuan
besar. Ketika itu terjadi perdebatan besar ada yang menggap bahwa apakah Nabi
Isa itu adalah seratus persen perwujudan Tuhan atau dalam dirinya ada
Unsur-unsur ketuhanan, maka sebagian besar menyepakati bahwa dalam dirinya ada
unsur ketuhanan pada dirinya namun ada juga sebagian kelompok kecil yang walk
out pada pertemuan besar itu yang mengakui bahwa nabi Isa adalah tidak lebih
seperti manusia lainnya atau nabi-nabi sebelumnya yang punya kelebihan, dan dia
tidak memiliki sifat ketuhanan. Maka, apakah lantas dengan memukul ratakan
bahwa pemeluk agama Nasrani itu adalah penyembah Nabi Isa. Selain itu, Kita
sama-sama mengetahui bahwa dibeberapa ayat dalam aquran mereka dipanggil atau
dilabeli dengan “ya Ahlul kitab” atau ahli kitab tidak disebutkan kata kafir.
Secara
pemikiran dalam lintas Iman kata kafir ini adalah istilah agama yang kadang
berkembang dan kadang menyusut. Kata kafir ini akan menjadi padat dan keras
ketika faktor dialog jarang terjadi diantara pemeluk agama. Pengistilahan ini
akan menjadi menggema dalam kehidupan beragama jika tidak terjadi interaksi
yang kontinyu. Justru akan menjadi berkembang ketika identitas agama ini
dibawa-bawa dalam ranah politik. Banyak sekali sekolah-sekolah islam bahkan
sekolah negeri sejak TK sampai perguruan tinggi tidak mengarahkan muridnya atau
mahasiswanya untuk melakukan interaksi terhadap pemeluk agama lain. Sehingga
yang terjadi adalah mereka sangat buta terhadap pemeluk agama lain itu,
sehingga memunculkan persepsi bahwa mereka adalah berbeda, bukan golongan kita,
dan saya tidak bisa hidup bertetangga dengan mereka. Pada akhirnya itulah yang
selalu tertanam dalam dirinya sehingga hidup dalam pandangan primordial yang
sempit.
Gowa,
9-3-2019
0 Response to "Kafir dalam Tradisi Keagamaan dalam Penafsiran Hermeneutika"
Posting Komentar