Mendekonstruksi Misoginisme (2)
source image: jawaban.com |
Mendekonstruksi
adalah kata kerja untuk menysun kembali, mengatur ulang, mengecek suatu objek
yang bias di masa lalu. Sudah saya jelaskan sebelumnya apa itu misogini. Tapi,
tidak mengapa saya kembali mengulang apa itu misogini dan bagaiman kita
mengdekonstruksinya. Misoginis adalah suatu keyakinan bahwa laki-laki itu lebih
unggul dibandingkan dengan perempuan. Kalau dalam kamus Cambridge misoginis
adalah “a man who
hates women or believes that men are much better than women” kalau dalam
bahasa Indonesianya laki-laki yang membenci perempuan atau keyakinan bahwa
laki-laki itu lebih baik daripada perempuan. Keyakinan ini bukan muncul begitu
saja atau hal yang baru bagi dunia filsafat ataupun tataran nilai dalam
kehidupan manusia. Dalam filsafat mulai dari Plato sampai pada filsuf
kontemporer mereka dalam teori-teori mereka penuh dengan patriarki dalam
mengintrepretasikan namanya spesies woman
itu, bahkan dalam dalil-dalil agama juga banyak mengandung misoginis. Nah,
pertanyaanya bagaimana mengdekonstruksi pandangan-pandangan misoginis.
Misoginis sangat
lekat hubungannya dengan posisi paradigma feminisme. Membincang paradigma
feminisme tidak bisa kita lepaskan teori kritis, antologis, historis sehingga
melahirkan realitas. Disanalah kita bisa melacak misoginis ini dan bagaimana
menyusunnya kembali. Teori kritis adalah aliran pemikiran yang menekankan
penilaian refletif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan
pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sigmund freud menyatakan bahwa
kendala utama untuk pembebasan manusia. Maka secara antologis misoginis ini
perlu dikaji secara realitas atau kenyataan konkrit secara kritis. Untuk
mengkajinya kita harus melihat kebelakang atau secara historis bagimana
realitas misoginis ini bermula, menjadi konsep, dan dianggap sebagai kebenaran
umum dalam kehidupan manusia.
Misoginis
di konstruksi oleh realitas, dimana keadaan disekitar atau lingkungan manusia
telah menjadi keyakinan dan sumber nilai bagi masyarakat ataupun komunitas
tertentu. Yang mengkonstruksi itu siapa? Mereka adalah para rezim patriarki
yang berkuasa atas subordinat. Mengatur segalanya, menintrepretasikan kaum
feminis dalam pandangan mereka. Mulai dari ujung kuku sampai ujung rambut, sang
superordinat ini bagaikan raja terhadap majikannya. Mengaggap wanita itu adalah
hewan peliharaan, laki-laki pemimpin atas perempuan, perempuan itu cocoknya
hanya dihamili saja seperti kata-kata para filsuf. Bahkan dalam teks-teks agama
juga dikonstruksi bagimana itu perempuan dianggap rendah dan dinomor duakan
seperti teks ini “musuh yang paling utama
adalah istrimu yang sepembaringan denganmua” mengapa perempuan dijadikan
mush? Bukankah istri adalah partner dalam bahtera kehidupan. Dalam teks hadist
lain “tidak akan berjaya suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”(HR. Ahmad, Bukhari, dan Nasai)
dalil ini sangat mitogini, perempuan dianggap sebagai penghalang atau kegagalan
jika memimpin suatu urusan dunia. Padahal dalam kepemimpinan itu yang
ditekankan adalah kapabilitas dan kualitas, dan tentunya masih banyak dalil
agama yang misogini.
Baca juga Melacak misoginisme dalam filsafat
Hasil-hasil
intrepetasi dari kaum superordinat inilah menyebabkan subordinat menjadi selalu
dinomor duakan. Selain itu, adanya pemikiran dikotomik. Pemikiran dikotomik
adalah cara berfikir yang oposisi biner dimana sebuah sistem yang berusaha membagi
dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Contoh sederhananya
adalah guru vs murid. Kalau dalam terma misogini antara woman selalu diidentikkan lembut, emosional,dan pasif kalau man selalu diidentikkan kuat, rasional,
dan aktif. Inilah yang dikonstruksi didepan publik sehingga dianggap menjadi
nilai bagi masyarakat kita. Apalagi kalau ini dihubung-hubungkan dalam dunia
politik, seakan-akan woman ini tak
memiliki panggung dalam tataran sosial dan politik.
Penyebab
lain lahirnya misogini adalah adanya pemikira logosentrisme. Logosentrisme adalah suatu keyakinan yang berlaku
secara umum, mutlak, dan tunggal atau esensial universal. Kalau Derrida
menyebutnya bahwa kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu,
kehadiran objek absolut tertentu. Derrida mengaanggap bahwa seluruh filsafat
barat bersifat logosentrisme. Dengan demikian dekonstruksi mengkritik seluruh
proyek filsafat barat itu suatu keharusan. Seperti saya sebutkan sebelumnya
bahwa plato menganggap perempuan itu tidak lebih daripada hewan piaraan dan
seterusnya.
Ada
empat cara mendekonstruksi misogini ini seperti yang ditawarkan oleh guru saya
Dr. Muhammad Ashar. Pertama adalah menggugat esensialisme. Mari kembali mengecek
dan mengkritisi sumber-sumber rujukan yang dijadikan nilai-nilai kemanusian
yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan susah payah
selama beratus-ratus bahkan berabad-abad tahun yang lalu, didalamnya dianggap
telah teruji dalam gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam
perjalanan waktu. Kedua, alternatif interpretasi. Mari kembali mengkaji ulang,
menafsirkan ayat-ayat suci, sumber-sumber nilai yang dijadikan acuan kebenaran
dalam teks tertentu. Jangan menutup kerang-kerang penafsiran yang baru terhadap
suatu teks suci dalam menguak kebenaran yang lain. Ketiga, membongkar teks
maskulin. Teks-teks maskulin yang dianggap mendeskreditkan spesies mereka,
semestinya di tafsirkan ulang. Mari mengecek kembali teks-teks yang secara
periodik, dari satu ahli tafsir ke ahli tafsir berikutnya senantiasa monoton
dalam menjabarkan ayat-ayat maskulin itu. Keempat, menawarkan teks feminisme. Dalam
isu feminisme mari memuncukan teks-teks feminisme dengan penafsiran yang baru
dan dapat diterima secara umum. Bukan menawarkan teks yang lebih feminsime
dengan kecenderungan patriarkisme.
Sebagai
penutup, saya mau mengutip teks agama dalam surah An-nahl ayat 58; “apabila seseorang dari mereka diberi kabar
tentang (kelahairan) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia
sangat marah”. Ayat tersebut diatas menjelaskan dengan eksplisit bahwa
masyarakat yang “bodoh/jahiliah” adalah masyarakat atau komunitas yang tidak
mengjunjung tinggi atau menghargai spesies woman.
Ini merupakan penyakit utama dan pertama dalam komunitas masyarakat jahiliah
pada waktu itu, dimana women sebagai
sesuatu yang menjijikan dan kutukan bagi mereka. Kehidaran spesies women sangat tidak dikehendaki. Spesies man menjadi simbol kekuatan, simbol
kejantanan, dan kekuasaan. Sedaangkan spesies woman merupakan simbol
cengeng, lemah, dan tidak berkuasa serta objek atas kebuasan para rezim
patriarki.
Sungguminasa,
14 desember 2018
By
kiran
0 Response to "Mendekonstruksi Misoginisme (2)"
Posting Komentar