Selamat Datang di Guru Merdeka

Selamat Datang di Guru Merdeka

Melacak Misoginisme dalam filsafat

Seorang makhluk dilahirkan  kemudian berproses secara biologis. Mulai dari tersenyum dengan suara-suara cengkring kemudian merangkak. Lambat laun tumbuh menjadi dewasa dan memikat lawan jenisnya. Hingga kemudian menikah dan melahirkan seorang anak, merawat, dan membesarkannya. Kemudian, badannya mulai lemah dan tak mampu lagi berbuat banyak karena dimakan oleh usia. Hingga kemudian mati. Itulah peran singkat yang namanya spesies women. Biar bagaimanapun profesinya, pendidikannya, dan pangkatnya tak bisa lepas dari siklus itu kecuali jika dia ingin menjadi subjek terhadap spesies man.


Misoginis punya sejarah panjang dalam dunia filsafat. Sejak zaman klasik sampai sekarang ini masih bisa kita temukan. Plato pernah berpendapat satu-satunya cara untuk sampai pada kesimpulan tentang kepemilikan dan pemanfaatan perempuan serta anak-anak adalah berangkat  dari jalan yang sudah kita tempuh, yaitu bahwa laki-laki adalah sebagai pelindung dan penjaga hewan peliharaanya(wanita). Seakan-akan wanita tak mampu berbuat apa-apa tanpa spesies man itu, dia adalah barang kepemilikan. Kemudian muridnya (Aristoteles) pun  memandang bahwa antara laki-laki dan perempuan, yang terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin sedangkan yang satu inferior dan objek. Jadi, memang sudah sejak lama dua spesies ini selalu menjadi perhatian bahwa yang satunya sebagai objek dan yang satunya sebagai subjek atau satunya dominator dan yang lain adalah yang terdominasi. Meminjam perkataan guru saya muhammad ashar bahwa "kita ini selalu memandang tafsiran-tafsiran objek(spesies women)dari kaca mata man, sehingga kita mengalami miskonsepsi terhadapnya". 

Beberapa perempuan yang punya kemampuan filsafat atau filosof perempuan yang didiskriminasi atau tidak mau diakui kemampuan filsafatnya. Seperti Margareth Cavendish ditolak sebagai anggota Royal Society of London, Anna Maria van Schurman pada awal abad ke 17 dia mengikuti kuliah filsafat dari balik tirai, Elena Cornora Piscopia pada tahun 1678 di Universitas Vadua, Venecia dihadiri 20.000 orang dalam promosi doktornya, karena saking banyaknya yang menghadiri doktornya mereka dianggap membahayakan dunia filsafat, Laura Bassi pada 1732 mempertahankan 49 judul disertasi didepan lima professor dalam satu bulan. Bahkan, sekarang ini kampus kelas dunia pun seperti Cambridge University hanya mampu menghasilkan satu doktor filsafat perempuan dalam satu tahun. Itu pun jika ada perempuan yang mengambil jurusan filsafat dalam satu kelas maka itu dianggap sesuatu hal yang bukan biasa, sama halnya ketika ada perempuan memilih jurusan teknik mesin.

Sejak lama perempuan itu mengalami misogini dalam dunia filsafat. Entah mengapa mereka diperlakukan seperti itu. Apakah karena mereka tidak diciptakan untuk dunia akademik atau berfikir. Atau karena kodratnya memang tidak diciptakan untuk berfilsafat. Seperti Daeng Descartes pernah mengatakan bahwa perempuan berelasi lebih personal narsistik atau neurotik, juga dianggap tidak dapat bersikap objektif, subjektif, atau universal atau lebih tepat lagi tidak dapat berfikir...,logika selalu mendikte, laki-laki berfikir, dan perempuan merasa. Nah Deng Descart menghukumi perempuan itu tidak dapat berfilsafat karena dia adalah makhluk perasa. Makanya kalau ada yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak boleh memimpin suatu organisasi termasuk tidak boleh menjadi presiden di negeri tercinta Indonesia ini, maka dia adalah penganut misogini mashab Descartes.

Kemudian, pada suatu waktu Karaeng Schopenhaur dalam bukunya On Woman menyatakan bahwa perempuan lebih cocok menjadi perawat dan mengajar anak-anak karena mereka pada dasarnya adalah anak-anak, mempunyai pandangan sempit; singkat kata, mereka selama hidupnya adalah anak yang berbadan besar. Jadi menurutnya ini Karaengta, spesies woman itu tidak cocok dunia filsafat karena berpandangan sempit, jika spesies man mengatakan A maka dia akan manggut saja, terima apa adanya selama dia me-rasa nyaman padanya. Kemudian, pemikirannya selalu stagnan sejak kecil sampai besar secara biologis, dia tak mampu berfikir universal. Makanya Hegel menambahkan bahwa perempuan tentunya dapat diberi pendidikan, tetapi pemikiran mereka tidak dapat beradaptasi pada ilmu pengetahuan yang tinggi, filsafat atau seni tertentu  kemampuan ini menuntut untuk bisa berfikir universal. 

Ada dua aliran besar terhadap hubungan feminisme dengan filsafat, yakni anti filsafat dan lunak terhadap filsafat. Anti filsafat memandang bahwa kemampuan laki-laki untuk berafiliasi pada orang lain atau apapun membuat hidupnya tidak berarti (laki-laki memandang hidup sebagai absurb) sehingga ia menciptakan filsafat. Kebanyakan laki-laki karena ia pengecut memproyeksikan kelemahannya pada perempuan. Kelemahan dilabelkan pada perempuan sekaligus menganggap dirinya mempunyai kekuatan atas perempuan; kebanyakan filsuf, tentu tidak semuanya pengecut, dihadapi pada kenyataan bahwa ia hanya eksis pada manusia pada umumnya dan tidak dapat menghadapi kenyataan bahwa ia hanya eksis pada laki-laki saja. Sehingga merek melabelkan kondisi laki-laki sebagai kondisi manusia. Sedangkan yang lunak terhadap filsafat memandang bahwa ada hubungan namun secara historis menindas perempuan(represif). Filsafat merupakan produk maskulin yang eksistensinya diraih karena melempar feminitas keluar pintu filsafat dan sama sekali tidak merasa perlu untuk membahas feminitas. Karena subjektifitas perempuan dilihat dan melihat dirinya sebagai objek.

Sungguminasa, 30 November 2018

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melacak Misoginisme dalam filsafat"