Emosi dalam Pandangan Sartre
Tradisi membaca sesuatu yang
harus menjadi kebiasaan dalam setiap aktifitas. Kali ini, dalam tradisi membaca
saya lebih banyak membaca buku-buku filsafat. Namun, ketika saya berkunjung ke
sebuah toko buku yang banyak menjual tentang buku-buku ideologi. Saya melihat
sebuah buku kecil warna putih, ditenganhnya dilumuri warna merah bagaikan cat
dalam satu wadah. Secara simbolistik, mungkin saja itu mewakili sebuah amarah
yang berputar dalam sebuah wadah, dimana yang lain akan terserempet. Merah
mewakili amarah atau emosi, sedangkan putih adalah subjek-subjek yang kita
paksakan terhadap kesadaran kita. Buku itu ditulis oleh Sartre nama lengkapnya
adalah “Jean Paul Sartre” dengan judul buku “Theori of the Emotions”
Sartre
seorang filsuf terkenal kebangsaan Perancis. Karya-karyanya sangat banyak meliputi
filsafat dan sastra. Makanya, pada tahun 1964 dia dianugrahi hadiah Nobel dalam
bidang sastra, namun dia menolaknya. Beliau lahir di Paris pada 21 juni 1905.
Dia seorang beraliran eksistensialisme. Dimana ajaran eksistensialisme
memandang bahwa manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih
dahulu dan esensisnya itu akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain
manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak
lebih adalah hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Oleh
karena itu, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Buku
ini menjelaskan secara panjang lebar tentang teori emosi dalam sudut pandang
eksistensialisme. Kalau kita bagi halaman dalam buku ini, sebanyak seratus
halaman. Lima puluh membahas tentang teori-teori emosi dari sudut pandang
klasik, psikoanalis, dan secara umum apa itu emosi. Tapi pada lima puluh
halaman selanjutnya, menjabarkan emosi dalam sudut pandang eksistensilis. Buku
ini termasuk sulit dibaca bagi kalangan yang bukan disiplin ilmunya dari
psikologi karena akan banyak istilah-istilah
psikologi mapun bahasa perancis yang akan kita temuai dibeberapa
halaman. Jika kita tidak memberikan catatan-catatan tambahan atau mencari makna
bahasanya dalam kamus maka akan kita membaca berulang-ulang untuk memahaminya.
Secara ukuran, buku terasa enak untuk menjadi bacaan yang dibawa kemana-mana
karena ukurannya kecil atau simple. Tapi, secara penulisan buku ini masih
kurang rapi karena masih menggunakan format align
text.
Bab
awal Sartre menuliskan tentang cartesianisme. Menurut saya catatan ini menarik
buat saya, dimana dia menuliskan bahwa cartesianisme adalah sebutan untuk
pandangan tertentu terhadap kesadaran. Sedangkan cartesianisme mengisyaratkan
bahwa ia sesuatu yang tak dilakukan orang waras. Dia mendefeniskan kesadaran,
bahwa harus perlu selalu sadar terhadap kesadaran itu sendiri. Jadi
membingungkan memang sesuatu yang abstrak untuk didefeniskan.
Ada dua kata kunci yang
menarik pada buku ini sebelum membahas eksistensialisme lebih mendalam yakni
kata emosi dan marah. Emosi adalah cara khusus memahami dunia. Kita melihat
dunia dalam kondisi tertentu yaitu sebagai tuntutan, tuntutan tertentu
terhaadap kita. Kita membuat semacam peta dunia bagi kita, suatu peta
“hodologis” yang memetakan jala-jalan kecil untuk mencapai berbagai tujuan
kita. Dipandang dari sudut peta ini, kita melihat dunia didepan kita
seolah-olah itu artefak dunia kita sendiri. Namun, ada rintangan-rintangan dan
kesulitan-kesulitan selain rute-rute. Dan ketika rintangan-rintangan menjadi
terlalu besar, kita berpura-pura memperoleh apa yang kita butuhkan melalui
keajaiban, bukan dengan cara alami dan layak.
Emosi timbul ketika mereka
memilih untuk memandang dunia dengan sesuatu cara tertentu yaitu ajaib. Kata
ajaib suatu dari banyak cara yang kita miliki dalam pandangan dunia.
Singkatnya, emosi adalah semacam penenggelaman kedalam cara kesadaran inferior.
Emosi timbul ketika dunia yang bisa dimanfaatkan hilang secara tiba-tiba dan
dunia ajaib muncul ditempatnya. Ketika, apa yang kita inginkan secara tiba-tiba
ingin segera terlaksana. Namun itu diluar kemampuan kita, sehingga memaksakan
ego maka terjadilah fenomena tensi darah yang tinggi, suara juga ikut meninggi,
muka memerah dan semua yang menandakan secara fisiologis.
Selanjutnya, sebagai
beraliran eksistensialis. Sartre meminjam perkataan Demdo, bahwa emosi adalah
cara khusus memhami dunia. Maka, dia membagi dua jenis kesadaran yakni kesadaran non-refletif
(dunia instrumental) “tindakan” dan
kesadaran refletif (dunia penuh benci) “kemarahan”. Kita cenderung terlalu
mudah percaya bahwa tindakan peralihan konstan dari non-reflektif ke reflektif,
dari dunia ke diri seseorang. Saya akan memberikan ilustrasi. Saat ini saya
menulis, namun saya tak sadar menulis. Akankah seseorang bilang bahwa kebiasaan
itu membuat saya tak menyadarai gerakan-gerakan yang dilakukan tangan saya
dalam menulis huruf-huruf? Itu kan absurd. Saya mungkin punya kebiasaan
menulis, namun bukan sama sekali menulis kata-kata tertentu dalam urutan
tertentu.
Secara umum, orang
semestinya selalu tak mempercayai kebiasaan sebagai penjelasan atau gambaran
terhadap yang dia lakukan disetiap aktifitasnya. Secara realitas, tindakan
menulis bukan tak sadar sama sekali. Ini struktur aktual kesadaran saya. hanya
ini bukan sadar akan kesadaran itu sendiri. Maka lanjut Sartre mendefenisikan
menulis adalah memelihara kesadaran aktif atas kata-kata saat keluar dari pena.
Bukan dari kata-kata karena saya tuliskan. Saya memahami kata-kata secara
intuitif itu, bahwa kata-kata itu muncul ex
nihilo (dari ketiadaan) dan tidak menciptakan diri sendiri, bahwa
kata-kata-kata itu tercipta secara pasif.
Pada saat sesungguhnya
ketika saya menulis sebuah kata, secara pribadi saya tak memperhatikan tiap
huruf yang terbentuk dibawah tangan
saya. saya dalam keadaan khusus memperhatikan, perhatian kreatif. Saya menunggu
keluarnya kata- yang saya tahu sebelumnya-untuk menggerakkan tangan saya yang
menulis dan huruf-huruf yang keluar dan karena menyadari hal itu sendiri.
Sama halnya ketika saya
membaca tulisan orang lain atau suatu buku. Saya secara pasti tak bisa
menggambarkan bagaiman penulis menggerakkan bahunya ketika menuliskan
kalimat-kalimat yang saya baca. Kalau dalam ilmu hermeneutika, peran
menfasirkan atas kata-kata yang dituliskan oleh penulis kita tidak mampu
seratus persen mendekati apa yang dirasakan oleh penulis itu. Tapi secara
tindakan (non-reflektif) kita bisa menyaksikannya dalam bentuk goresan huruf.
Karena kata-kata itu adalah kemampuan yang harus diwujudkan. Mewujud dalam
bentuk bunyi-bunyi yang khas maupun dalam bentuk simbol tulisan.
Kemudian di halaman 60 dia
menyebutkan bahwa emosi adalah perubahan dunia.
Katica usaha-usaha
kita tak sensuai dengan peta konsep sebelumnya. Harapan-harapan tidak sesuai kenyataan. Rintangan-rintangan penuh menghalangi jalan
masa depan. Maka, kita harus bertindak. Kita harus mencoba berubah dengan tindakan
dengan penuh harapan ajaib. Jika kemudian dilain kesempatan dia mengatakan
bahwa jika emosi adalah permainan sandiwara, maka sandiwara adalah hal yang kita
percayai.
Saya mengangkat satu
ilustrasi sederhana tentang emosi ini. Saya mengangkat tangan untuk mengambil
seikat jambu. Saya tak bisa melakukannya karena diluar jangkauan saya. Maka,
saya angkat bahu dan berbisik untuk menghibur diri dengan berkata ‘buah itu
terlalu hijau’ lalu terus berjalan. Sikap, kata-kata, dan perilaku tak dilakukan
begitu saja. Komedi kecil ini yang saya mainkan di bawah pohon jambu, dengan demikian
memberikan kualitas ‘terlalu hijau’ ini terhadap buah jambu itu, menjadi
pengganti bagi tindakan yang saya tak bisa lakukan.
Jambu itu semula menampilkan
diri sebagai ‘siap petik’, namun kualitas atraktif ini segera menjadi tak bisa
ditolerir ketika potensi itu tak bisa dilaksanakan. Ketegangan yang tak bisa
disepakati itu menjadi motif untuk mencari kualitas dalam jambu itu yaitu
keberadaan ‘ terlalu hijau’ buah itu yang akan memecahkan konflik dan
mengakhiri ketegangan. Hanya saya tak bisa memberikan kualitas ini terhadap
jambu secara kimiawi. Maka saya gunakan kegetiran soal anggur yang terlalu
hijau dengan menempatkan perilaku tak suka. Saya berikan kualitas yang
diperlukan secara ajaib. Dalam hal ini, komedi itu hanya setengah hati. Namun biarkan
situasi menjadi lebih kritis. Biarkan perilaku ‘ajaib’ itu bertahan dengan
seluruh keseriusan. Maka disana anda punya emosi.
Selain itu, ada dua ungkapan
yang menarik tentang emosi ini dalam pandangan penganut eksistensialis. Yang pertama
adalaha emosi kegembiraan dan emosi kesedihan. Emosi kesedihan adalah permainan
sandiwara secara ajaib atas ketakmampuan. Saya ilustrasikan bagaimana kesedihan
itu secara ajaib menjelma karena ketidak mampuan kita. Ketika kita divonis oleh
dokter suatu penyakit kanker misalnya. Serta merta, bukan hanya yang sakit
secara fisiologis merasakan kesedihan. Bisa saja yang merasakan sakit dia
berbahagia. Tapi yang paling merasakan kesedihan itu adalah orang-orang
disekitar kita. Apa yang membuat mereka bersedih? Bukan karena yang sakit ini
tak mampu menahan sakitnya. Tetapi, apakah ada kemampuan secara finansial untuk
menyembuhkannya dalam tindakan non-reflektif (operasi) atau peluang hidup yang
merasakan sakit jika dilakukan tindakan operasi.
Sedangkan emosi kegembiraan
adalah perilaku ajaib yang melalui mantra
mewujudkan pemilikan obyek yang diinginkan sebagai totalitas seketika. Ilustrasinya
begini, seoraang pria yang telah diberitahu seorang wanita bahwa ia mencintai
pria itu, mungkin mulai menari dan menyanyi. Dalam bertindak demikian, pria itu
menjauhkan pikirannya dari perilaku sulit dan bijaksana yang harus
dipertahankannya, jika ia pantas menerima cinta itu dan memupuknya untuk
memperoleh pemilikan cinta melalui detil tak terhitung (senyum, perhatian keci,
dan sebagainya). Ia berpaling bahkan dari wanita itu sendiri sebagai representative
relitas hidup dari semua prosedur sulit itu. Sekarang ia mengistirahatkan
dirinya. Untuk sementara, ia memiliki objek itu secara ajaib. Tapi ada juga
yang mengekspresikan kegembiaraanya dalam bentuk yang lain. Misalnya,
menunjukkan jati dirinya, kecantikan/kegagahan di sosial media. Sebagai bentuk
pengakuan keberadaanya bahwa dia ada dan menstimulus yang dia sukai. Makanya Heidegger
mengatakan bahwa realitas manusia untuk eksis adalah mengasumsikan keberadaan
diri sendiri dalam suatu cara pemahaman eksistensial. Kemudian, Husserl pun menambahkan bahwa untuk
eksis adalah demi kesadaran, untuk tampil bagi diri sendiri. Karena penampilan
disini adalah absolut. Penampilanlah yang harus dilukiskan dan ditanyai. Maka saya
mengakhiri tulisan ini bahwa emosi adalah penurunan nilai secara spontan dengan
kesadaran dalam menghadapi dunia.
Sungguminasa, 13 Juli 2019
0 Response to "Emosi dalam Pandangan Sartre"
Posting Komentar