NASIONALISME MILIK SIAPA?
Buku yang ditulis oleh Jemmy setiawan ini salah satu buku
perburuan saya pada saat diskon besar-besarn oleh gramedia di jln. Mappaoddang.
Melihat postingan teman tentang adanya bazar buku murah menstimulasi penyakit
saya tentang buku yakni membeli sebanyak-banyaknya. Salah satunya buku ini
menarik buat saya karena judulnya “ Nasionalisme Retorika Gombal” apalagi
belakangan ini ramai dibincangkan tentang nasionalisme di dunia persilatan debat
kusir facebookland, twitland, dan sosial media lainnya. Selain itu belakangan
ini adanya tagar-gatar NKRI harga mati setelah perstiwa demo besar-besaran yang
dilakukan oleh mahasiswa papua.
Mas Jemmi meracik buku ini seperti seduhan kopi aceh terkenal
gurih. Rasa pahit dan gulanya menyatu dalam suatu racikan yang pas tanpa ada
yang lebih dominan. Sehingga pembacaan kita tentang nasionalisme yang
ditawarkan tidak seperti mendaras buku-buku sejarah dan filsafat yang penuh
dengan istilah-istilah yang mana kita harus menyediakan kamus-kamus untuk
mencari arti literalnya. Buku ini menyajikan tiga bagian penting yakni beliau membedah
dengan pisau fakta-fakta premier tentang kejadian-kajadian di salah satu sudut
negeri ini, kemudian menganalisis penyebab redupnya nasionalisme, dan terakhir
memberikan zat penawar untuk menumbuhkan kembali nasionalisme.
Ada banyak kejadian-kejadian yang memicu nasionalisme dipertanyakan
pada suatu daerah atau etnis. Namun hanya ada dua menarik buat saya yakni suku
dayak dan gerakan-gerakan OPM di ujung timur Indonesia. Pertama penulis mewawancarai
salah aktivis muda dayak disana. Bahwa suku dayak selalu dipertanyakan
nasionalismenya padahal salah satu suku di Indonesia yang memiliki sikap
terbuka terhadap keberagaman dan kemajuan untuk negeri ini. Mau macam apa kami
tidak nasionalis? Kurang apakah sumpah setia orang dayak pada pemerintah? Sejarah
mencatat suku dayak satu-satunya suku di Indonesia yang menyatakan sumpah setia
ke pada Republik ini dengan tata upacara sakral di hadapan presiden Sukarno,
ketika Soekarno melakukan seruan “ “ganyang malaysia” Gerilyawan Paraku PGRS
menjadi momok menghantui pasukan malaysia, namun ketika soeharto berkuasa
gerilyawan ini digempur habis-habisan. Namun apa yang diberikan pada kepada tanah
ini, kami sangat terbuka sama pendatang untuk memajukkan daerah ini dengan tetap
mempertimbangkan kelestarian alam. Korporasi-korporasi masuk membabat hutan
kami untuk dijadikan lahan sawit, pikiran kami dapat membantu kesejahteraan
masyarakat dayak. Tapi korporasi-korporasi itu masih buta terhadap perkembangan
listrik, transportasi, yang masih banyak yang belum terjangkau.
Kemudian kedua gerakan OPM di timur Indonesia. Kelompok ini
hampir setiap tahun tak pernah berhenti bising di pemberitaan media mainstream.
Setip tahun selalu saja ada penembakan ataupun pembunuhan, entah itu dari
kalangan aparat terhadap pemberontak maupun terhadap pemberontak kepada aparat
ataupun masyarakat. Terakhir yang paling tragis ada peristiwa kerusuhan wamena
sebagai kulminasi dari demo besar-besaran sejak pertengahan agustus tahun 2019.
Terlepas dari adanya penunggang-penunggang gelap dari luar. Tapi kita harus
cermat memperhatikan dari dalam sendiri. Berawal dari percikan di surbaya namun
asap dan arangnya merembes ke ujung timur. Kita tidak bisa melihat ini sebagai
persoalan yang sederhana. Ini adalah teguran bagi pemerintah terhadap
terkikisnya nasionalisme pada perasaan saudara kita di timur sana. Mereka melahirkan
nasionalisme yang berbeda dengan apa yang kita yakini dan dengung-dengungkan
selama ini. Karena sebagai puncak kekecewaan, ketidak percayaan, dan rasa
dianak tirikan. Sehingga nasionalisme yang mereka pahami adalah etnosentrisme
yakni mengagungkan daerahnya sendiri daripada persatuan nasional. Hal ini
karena paradigma tentang bangsa dan nasionalisme yang kita anut tergerus karena
rasa sentimen kedaerahan yang terlalu tinggi. Kita bisa melihat hal ini pada
saat pelantikan kabinet Indonesia maju, dimana jagad land social media ribut
memperdebatkan tentang keterwakilan daerah dan kesukuan.
Persoalan nasionalisme papua yang diyakini saudara kita
disana. Karena mereka menyadari akan ketidak hadirnya pemerintah disana. Persoalan
HAM adalah hal yang menjadi main trouble yang selalu didengungkan
aktivis papua seperti Natalius Pigai dan kawan-kawannya. Hak asasi disini bukan
hanya pada penembakan dan tahanan politik saja. Tetapi persolan hak yang
lainnya supaya setara yang dirasakan oleh provinsi lainnya di Indonesia. Kemudian
ada persoalan-persoalan yang seakan-seakan pembiaran oleh pemerintah, termasuk
pemerintah daerah yang tidak serius memberantas minuman alkohol, narkoba, dan
penyakit HIV/Aids. Kalau kita melihat data BPS 2019 jumlah penderita penyakit
aids dan kasus baru 2019 tertinggi adalah papua dan papua barat. Jika pemerintah
benar-benar serius memajukan tanah surga yang jatuh ke bumi itu seharusnya
berperan aktif bersama dengan pihak keamanan memerangi ketiga penyakit itu. Maka
tak heran jika penulis buku ini menaruh curiga terhadap pemerintah menjadikan
ketiga penyakit sosial ini sebagai proxy war. Pun begitu pemerintah
daerah justru tidak sadar dengan apa yang menjadi fenomena di masyarakat
mereka, atau mungkin ada juga aktor dari mereka.
Selanjutnya bagian kedua menganalisis redupnya
nasionalisme. Penulis mengidentifikasi ada empat penyebab redupnya nasionalisme
yakni faktor internal dan eksternal, minimnya suri tauladan, alergi dengan
budaya sendiri, dan ketergantungan negara tetangga atau negara lain. Secara umum
pangaruh dari dalam seperti saya sebutkan sebelumnya bahwa kita terlalu
mengagung-agungkan dengan suku atau budaya kita sendiri dan kurang menghargai
budaya daerah lain atau tidak mementingkan persatuan dengan istilah
etnosentrisme. Sedangkan faktor luar memang berperan sangat signifikan tapi
sebenarnya kita yang tidak terlalu siap menghadapi tantangan-tantanagn dalam
persoalan persaingan global ataupun kawasan. Jadi berhentilah mengkambing
hitamkan diluar jangkauan kita yang tidak bisa kita perbaiki atau menyalahkan
negara lain. Kemudian minimnya suri tauladan. Setiap waktu kita selalu mendengar
dan melihat para elit ditangkapi karena kasus korupsi, perselingkuhan para
elit, para idola menjadi pemakai narkoba. Sementara disisi lain berkoar-koar “Nasionalisme
atau NKRI harga mati”. Apa yang bisa menumbuhkan nasionalisme kepada bangsa ini
padahal pada tataran praksis para kaum elit bangsa ini mempertontonkan etika
dan sikap yang menghianati subtansi nasionalisme.
Kemudian bagian akhir dari pembahasan buku ini adalah
penawar untuk menumbuhkan nasionalisme. Ada banyak racikan yang di tawarkan
oleh penulis ini namun yang paling penting buat saya adalaha bagaimana
merejuvenasi dan merevitalisasi nasionalisme. Peremajaan nasionalisme
(rejuvenasi) dan proses menghidupkan
kembali atau menggiatkan kembali akan kecintaan kita kepada tanah ini. Hal ini
perlu dilakukan karena setiap zaman berbeda dan perubahan itu sangat cepat. Apalagi
di era 4.0 sebentar lagi kita akan menuju era 5.0 tentunya akan merubah mindset
kita dimana akan menembus batas-batas teritorial untuk mengakses informasi
terbaru di luar sana. Maka, bukan tidak mungkin nasionalisme ini akan tergerus
dan tantangan untuk merekatkan bangsa ini akan semakin kompleks. Bukan lagi dengan
cara-cara konvensional seperti mengindoktrinisasi atau menyulut perang untuk
memancing patriotisme pada era Soekarno atau mengobarkan kampanye perang seperti
yang dilakukan oleh presiden Amerika Franklin. D Roosevelt pada pasca serangan Pearl
Harbour. Tetapi harus inovatif menemukan cara-cara baru menambah kecintaan
bangsa. Karena seperti organisme hidup, menuntut adanya kelangsungan hidup yang
diperoleh dari makanan yang sehat dan kebutuhan dasar dipenuhi.
Selanjutnya merevitalisasi nasionalsime, hal ini penting
karena revitalisasi kewaspadaan nasional adalah upaya kewaspadaan bangsa pada
apa yang terjadi di dalam dan luar negeri. Kita meski buka mata terhadap segala
potensi dan tantanagn yang harus kita hadapi. Sikap aware ini vital. Ancaman mulai dari ekonomi, budaya,
sosial, dan ideologi. Ujung-ujungnya adalah bahaya kelangsungan hidup bangsa. Aplikasi
kewaspadaan nasional ini melahirkan kemampuan bangsa mendeteksi dan mengenali
ancaman. Salah satu upaya pemerintah adalah pembentukan badan pembinaan
ideologi pancasila (BPIP). Dimana salah satu visi misinya adalah mewujudkan
kemanan nasional dan menjaga kedaulatan wilayah.
Meskipun buku ini sangat mudah dipahami tapi masih ada
beberapa kekurangan yang ada seperti kesalahan penulisan dibeberapa halaman. Selain
itu buku ini dalam bentuk ukuran saku, sehingga jika yang memiliki mata minus
mungkin membutuhkan tenaga ekstra untuk melahapnya kata per kata. Sedangkan gaya
penulisnya terkesan semi novel, dimana penulis menggunakan istilah-istilah
yang digunakan dalam percakapan sehari-hari atau tutur langsung seperti ngak
dst. Tapi sering juga menggunakan
istilah-istilah yang canggih seperti brand,
ATM( amati, tiru, dan menyempurnakan) dan masih banyak istilah-istilah yang
di garis bawahi untuk menambah perbendaharaan kata yang baru kita temukan.
Kemudian yang terakhir, saya suka pada kata-kata penutupnya.
Katanya untuk menumbuhkan nasionalisme menjadi suatu kebutuhan adalah
senantiasa kita membangun kecintaan kepada bangsa melalui rejuvenasi dan
revitalisasi tanpa harus curiga
untuk melakukan perselingkuhan. Kenapa? Sebab, nasionalisme is all about
love. Curiga melakukan perselingkuhan, saya meng-highlighted frase
itu. Menurut penafsiran saya, untuk peremajaan dan menggiatkan kembali atau
menghidupkan kembali nasionalisme itu tidak perlu ada intrik-intrik pragmatis. Kita
berteriak nasionalis, “paling pancasilais”, NKRI harga mati, tapi tidak melihat
fakta kenjangan diantara antar suku, daerah, dan perlakuan khusus terhadap
penganut agama tertentu. Makanya nasionalisme akan paripurna jika terwujud sila
kelima itu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Gowa, 24 Oktober 2019
0 Response to "NASIONALISME MILIK SIAPA?"
Posting Komentar