Rumah Kita
Rumah tempat terbaik untuk pulang. Pulang ke rumah akan memberikan keamanan, kenyamanan, dan ketenangan. Tempat dimana kita memberikan nilai historis bagi kita semua. Saya yang dilahirkan dari rumah sederhana dengan cara tradisional tanpa sentuhan medis. Mungkin juga diantara kita dilahirkan di suatu tempat dengan peralatan canggih dengan ilmu medis yang serbah canggih tapi namanya tetap "rumah" yakni rumah sakit atau rumah bersalin. Benda/tempat ini selalu berevolusi sepanjang zaman seiring perkembangan kognitif manusia.
Sejak homo sapiens hidup dari celah-celah batu, gowa, pinggiran sungai, pohon-pohon kemudian berubah menjadi rumah-rumah dari kayu yang sedikit sentuhan seni dengan nilai filosofisnya maka diambillah bahan-bahan kayu dan batu, disusun sedemikian rupa dengan bentuk sederhana. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dengan ditandainya revolusi pertanian maka lahirlah perkampungan-perkampungan dengan komunitas penduduk yang non-nomaden. Bentuk rumah yang mereka miliki dalam bentuk sederhana, namun penuh nilai sejarah dalam ukuran kita pada zaman milenial saat ini. Revolusi industri menjadikan rumah-rumah itu kembali berubah dengan teknologi arsitektur yang mumpuni. Bertingkat-tingkat bagaikan istana, apartemen, castil dan sebagainya yang terus berkembang sampai saat ini dan terus akan berubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan.
Rumahku ini menjadi bukti bahwa dia mahsyur dimasanya. Rumah khas bugis, kalau kita menyebutnya rumah panggung yang terbuat dari kayu hitam/besi menjadi kebanggan dimasanya. Masyarkat pada waktu itu berlomba membuat rumah-rumah dari kayu besi(sebutan bagi orang tua dulu), karena dalam pandangan mereka rumah ini tidak akan dilahap rayap dan tak lekang oleh waktu. Namun, bukan rayap dan cuaca yang merusakanya tapi perkembangan kognitif manusia dan kebutuhan itupun merubahnya. Padahal, jika kita menelisik filosofis sejarah rumah panggung bugis, mereka menciptanya karena konon negeri "tana ugie" sering terkena banjir, dimana sungai Walanae menjadi sumber penyebabnya. Selain itu tanah kadang bergoyang tak mengenal waktu, sehingga ketika bencana itu datang rumah panggung ini hanya seperti anak yang diayun didalam sarung (fere, bahasa bugis) yang digantung dipattolo (kayu penyanggah tiang rumah, bahasa bugis) tapi tidak meninggalkan kerusakan yang parah. Selain itu, rumah bagi pembuatnya meninggalkan banyak kisah hidup baginya, makanya jika ingin merubah, mengganti, atau bahkan menghilangkannya. Maka, kita seperti menghilangkan kisah hidup darinya padahal mungkin kita bagian dari kisah itu.
Perubahan itu memang sulit meninggalkan sesuatu yang lama. Berbagai kisah klasik mapun modern banyak mewarnai kehidupan kesusastraan sampai keyakinan(keagaamaan ) seseorang memenuhi lembaran sejarah hidup manusia. Kita ingat, Nabi Muhammad ketika merubah kiblat(rumah) kaum Muslimin dari Yerusalem ke Mekah, ada pertentangan para sahabat maupun dari pemeluk agama lain. Agama Islam pada waktu itu yang masih terbilang baru, tentunya hal-hal yang baru akan menjadi polemik. Hampir sama ketika pada masa awal, wacana pemindahan ibu kota (rumah, simbol) bagi berbagai etnik, suku, ras, dan agama di Indonesia tak lepas dari pertentangan dan diskursus. Semua berubah karena faktor berkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan. Meskipun kita punya banyak kisah romantisme Batavia, Sunda kelapa, Jayakarta, Jakarta, atau apapun namanya. Tapi semoga bukan pemindahannya karena akan menjadi "legacy" untuk dikenang bagi pemerintahan di masa sekarang.
Bone, 30 desember 2019
Sejak homo sapiens hidup dari celah-celah batu, gowa, pinggiran sungai, pohon-pohon kemudian berubah menjadi rumah-rumah dari kayu yang sedikit sentuhan seni dengan nilai filosofisnya maka diambillah bahan-bahan kayu dan batu, disusun sedemikian rupa dengan bentuk sederhana. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dengan ditandainya revolusi pertanian maka lahirlah perkampungan-perkampungan dengan komunitas penduduk yang non-nomaden. Bentuk rumah yang mereka miliki dalam bentuk sederhana, namun penuh nilai sejarah dalam ukuran kita pada zaman milenial saat ini. Revolusi industri menjadikan rumah-rumah itu kembali berubah dengan teknologi arsitektur yang mumpuni. Bertingkat-tingkat bagaikan istana, apartemen, castil dan sebagainya yang terus berkembang sampai saat ini dan terus akan berubah seiring perkembangan ilmu pengetahuan.
Rumahku ini menjadi bukti bahwa dia mahsyur dimasanya. Rumah khas bugis, kalau kita menyebutnya rumah panggung yang terbuat dari kayu hitam/besi menjadi kebanggan dimasanya. Masyarkat pada waktu itu berlomba membuat rumah-rumah dari kayu besi(sebutan bagi orang tua dulu), karena dalam pandangan mereka rumah ini tidak akan dilahap rayap dan tak lekang oleh waktu. Namun, bukan rayap dan cuaca yang merusakanya tapi perkembangan kognitif manusia dan kebutuhan itupun merubahnya. Padahal, jika kita menelisik filosofis sejarah rumah panggung bugis, mereka menciptanya karena konon negeri "tana ugie" sering terkena banjir, dimana sungai Walanae menjadi sumber penyebabnya. Selain itu tanah kadang bergoyang tak mengenal waktu, sehingga ketika bencana itu datang rumah panggung ini hanya seperti anak yang diayun didalam sarung (fere, bahasa bugis) yang digantung dipattolo (kayu penyanggah tiang rumah, bahasa bugis) tapi tidak meninggalkan kerusakan yang parah. Selain itu, rumah bagi pembuatnya meninggalkan banyak kisah hidup baginya, makanya jika ingin merubah, mengganti, atau bahkan menghilangkannya. Maka, kita seperti menghilangkan kisah hidup darinya padahal mungkin kita bagian dari kisah itu.
Perubahan itu memang sulit meninggalkan sesuatu yang lama. Berbagai kisah klasik mapun modern banyak mewarnai kehidupan kesusastraan sampai keyakinan(keagaamaan ) seseorang memenuhi lembaran sejarah hidup manusia. Kita ingat, Nabi Muhammad ketika merubah kiblat(rumah) kaum Muslimin dari Yerusalem ke Mekah, ada pertentangan para sahabat maupun dari pemeluk agama lain. Agama Islam pada waktu itu yang masih terbilang baru, tentunya hal-hal yang baru akan menjadi polemik. Hampir sama ketika pada masa awal, wacana pemindahan ibu kota (rumah, simbol) bagi berbagai etnik, suku, ras, dan agama di Indonesia tak lepas dari pertentangan dan diskursus. Semua berubah karena faktor berkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan. Meskipun kita punya banyak kisah romantisme Batavia, Sunda kelapa, Jayakarta, Jakarta, atau apapun namanya. Tapi semoga bukan pemindahannya karena akan menjadi "legacy" untuk dikenang bagi pemerintahan di masa sekarang.
Bone, 30 desember 2019
0 Response to "Rumah Kita"
Posting Komentar