Sarjana Pulang Kampung
Menjadi
seorang sarjana muda adalah sesuatu hal yang menyenangkan namun terkadang
menjadi beban pikiran dalam mempertanggung jawabkan status kita sebagai
sarjana. Aku merasa senang ketika disumpah sebagai sarjana namun juga sedih ketika
harus menjaga nama baik almamater, bagaimana tidak ketika kita sudah
menyelesaikan sebuah study dan kembali kepada masyarakat seperti biasanya yang
tidak disibukkan oleh tugas-tugas kampus.
Kembali ke kampung adalah hal
menyenangkan namun juga ada rasa gengsi yang mampek kedalam hati kita bahwa
kita ini orang-orang terpelajar artinya bahwa kita merasa sombong dengan
capaian kita terhadap dunia akademik.
Tapi tau tidak kita dibebankan oleh kita punya title sarjana “Apa itu?”.
Apa kontribusi kita terhadap masyarakat, sudahkah kita menyumbangkan ide-ide
kita terhadap mereka, sudahkah kita membantu dalam mengangkat martabat mereka?
Atau jangan-jangan kita hanya berpangku tangan dalam kamar sambil menikamti
secangkir kopi kemudia menikmati
nyanyian Iwan Fals.
Mungkin seorang sarjana muda atau
bahkan sebelum menjadi sarjana terlalu banyak
cita-cita yang menerang dalam pikiran kita. Terkadang kita berpikiran
bahwa “setelah selesai saya akan melanjutkan kuliah S2 atau bahkan S3, ada juga
yang berpikiran setelah selesai “ saya akan merantau ke negeri orang karena
katanya disana banyak peluang kerja” namun nyatanya ketika telah selesai kita
malah tinggal diam di rumah sambil menunggu reski mendatagi kita, menunggu lamaran kerja menunggu kita, atau malah menuggu
seorang lamaran untuk menikah dengan kata lain ketika sudah “wisuda” kita akan
“sudahi masa kelajangan kita” itukan sunggu lucu. Mimpi kita sungguh indah
namun pada akhirnya pudar oleh keputusasaan kita terhadap pekerjaan dan
akhirnya memutuskan untuk menikah terlalu dini.
Sungguh menjadi sarjana itu susah
mengapa tidak?. Ketika kita hendak melanjutkan kuliah kita mendaftar melalu
jalur undangan, kemudian ketika kita menerima pengumuan bahwa kita tidak lulus
maka mau tidak mau kita harus mendaftar lagi melalui jalur umum dimana
persaingan yang cukup ketat lebih susah dari pada ujian Nasional. Namu ketika
menerima pengumuman , kembali kita menerima perasaan kecewa yang kedua kalinya.
Mau tidak mau seorang yang berorientaasi pendidikan “harus mendaftar kesekian
kalinya” namun pengumuman keberuntungan kembali tak berpihak ke kepada kita.
Mau tidak mau harus mendaftar kesekian kalinya melalui jalur khusus.
Kamu tau apa itu jalur khusus? Jalur ini adalah alur dimana dosen yang
akan bermain, setiap dosen memilik jatah untuk memasukkan mahasiswa. Jadi kalau
anda tidak memiliki kenalan atau keluarga kamu tak akan kuliah. Mau tidak mau
kita harus membayar. Sebegitu susahnya kita sampai empat kali kita mengikuti
tes untuk kuliah, ditambaha lagi pembayaran yang besar ketika mengikuti proses
perkuliahan, namun setelah menyelesaikan study malah kembali ke kampung dengan alasan
bahwa saya belum siap bekerja.
Ada juga kasus yang bisa saja
membuat melukai nama baik sseorang sarjana, yaitu kembali ke kampunguntuk bekerja
seperti sedia kala dimana pekerjaan sebelum kuliah akan melanjutkan
pekerjaannya itu. Nah, ini terkadang masyarakat menggunjing bahwa “mengapa si
Anu itu tidak bekerja sesuai dengan jurusannya ketika kuliah maksudnya bahwa
pekerjaanya ini sama ketika sebelum kuliah” ditambaha lagi “ah.. si anu itu tidak ada gunanya kuliah”.
Sehingga ini bisa membuat masyarakat enggan mendukung anaknya untuk sekolah
yang lebih tinggi karena melihat kasus yang menimpa seorang sarjana. Saya
pernah mendengar seorang ibu berkata “ kamu tidak usah sekolah tinggi-tinggi
karena tidak ada gunanya, coba lihat si Anu itu. Sudah kuliah tapi tetap
nganggur.” Nah inilah yang kadang membuat saya merasa takut melihat pendidikan
karena terkadang menjadi momok yang jelek dimata masyarakat dikarenakan oleh
pelaku penuntut ilmu itu tidak memberikan contoh secara tidak langung yang
baik.
Pallangga, 23 Juli 2014
0 Response to "Sarjana Pulang Kampung"
Posting Komentar